Tindakan Kecil Tidak Dikenal
Di kota Liverpool Inggris, tempat John Lennon melahirkan kelompok musik yang
pernah merubah sejarah dunia, saya pernah mengalami sebuah pengalaman
kemanusiaan yang amat menyentuh. Setelah antre cukup lama di kantor imigrasi,
guna memperpanjang visa isteri saya, lebih-lebih setelah mendengar orang di
antrean depan ditanya dan dimaki sana-sini, hati ini sempat kecut juga. Belum lagi
ditambah dengan stok tiket return yang batasnya hari itu juga. Plus tidak ada uang
untuk menyewa hotel kalau terpaksa menginap. Begitu cekaknya keuangan,
bekalpun membawa dari kota Lancaster yang berjarak sekitar empat jam perjalanan
kereta api.
Sesampai di depan petugas, saya terangkan maksud kedatangan saya. Ketika
petugas tahu, bahwa visa yang mau diperpanjang adalah visa isteri, ia bertanya
apakah saya membawa akte pernikahan. Busyet, saya lupa membawanya. Kalaupun
saya bawa, pasti ia tidak mengerti karena dalam bahasa melayu.
Saya sudah siap-siap mental dimaki sebagaimana orang Pakistan di depan, atau
disuruh kembali lain waktu. Tiba-tiba saja saya ingat lagu John Lennon yang berjudul
Imagine, yang bertutur mengenai mimpi John tentang kehidupan manusia yang
tanpa agama, bangsa dan atribut lain yang memisahkan.
Di tengah lamunan akan John Lennon tadi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara
petugas imigrasi yang menemukan kata Bali sebagai tempat lahir isteri saya di
pasport. Dengan ekspresi yang amat bersahabat ia bertanya, di bagian mana dari
Bali ia lahir, apakah kami sekeluarga senang tinggal di Inggris, dan sederetan
pertanyaan yang sangat menghibur.
Ketika saya tanya balik, kenapa ia demikian bersahabat setelah tahu kami dari Bali,
petugas tadi menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah ditolong orang Bali,
ketika mengalami kecelakaan saat berwisata di pulau dewata ini. Singkat cerita,
semua urusan menjadi beres hanya karena ada kata Bali di pasport.
Mirip dengan pengalaman di Liverpool, di Manchester saya juga pernah
diselamatkan nasib baik. Setelah menempuh penerbangan dari Paris yang
melelahkan, saya ikuti saja antrean manusia yang ada di depan guna diperiksa
imigrasi. Setelah pegal berdiri setengah jam, dan akan memperoleh giliran bertatap
muka dengan petugas imigrasi, baru saya tahu walau saya antre di tempat yang
keliru. Sebagai warga Indonesia, saya antre di tempat yang ditujukan untuk warga
masyarakat Eropa.
Padahal, pesawat berikut ke tempat lain mesti take off kurang dari sejam lagi.
Saya sudah pasrah, what will be, will be. Pertama-tama, tentu saja petugasnya
cemberut melihat tampang saya. Lebih-lebih setelah melihat passport yang berisi
gambar burung garuda. Namun, karena kesabaran petugas, dibuka juga itu passport
sambil bertanya, di mana saya tinggal selama di Inggris. Setelah saya jawab dengan
sebutan desa Galgate di pinggiran kota kecil Lancaster, tiba-tiba wanita di depan
saya wajahnya sumringah. Dengan akrab dia bercerita tempat lahirnya.
Penduduk desa kecil yang amat bersahabat. Buah apel yang bisa dipetik siapa saja
oleh penduduk desa Galgate. Orang-orang tua jompo yang penuh senyum dan
persahabatan tanpa pamrih dan masih banyak lagi yang lain. Dan, tiba-tiba saja petugas imigrasi ini minta saya menunggu sebentar, sementara ia pergi membawa
passport saya ke counter lain.
Tidak lebih dari tiga menit, ia sudah mengembalikan passport saya lengkap dengan
stempel imigrasi. Sambil berpesan: sampaikan salam kangen saya buat penduduk
desa Galgate.
Boleh percaya boleh tidak, saya mengalami kejadian-kejadian seperti ini, dalam
frekuensi yang cukup sering. Sejumlah rekan Tionghoa yang mengerti petunjuk hoki,
menyebut saya manusia hoki karena bentuk hidung, telinga dan dagu yang cocok
dengan ciri-ciri hoki. Sebagai manusia biasa, saya memang memiliki banyak
kekurangan. Disebut sering suka cerita yang porno dan jorok. Suka 'ngompol'
(ngomong politik).
Berteriak kalau lagi marah besar di rumah. Wika, Adi dan Suci adalah manusiamanusia
yang paling tahu daftar kekurangan saya. Akan tetapi, sejak umur yang
sangat kecil, saya dibiasakan oleh seorang kakak, untuk mengumpulkan daftar
tindakan-tindakan kecil yang tidak bernama.
Tidak dikenal. Tidak dihitung. Namun, berguna buat alam dan orang lain.
Bukan pada tempatnya, kalau saya membeberkan daftar tindakan-tindakan saya di
kolom ini. Yang jelas, ada semacam kesegaran dalam jiwa, sesaat setelah
melakukan tindakan-tindakan tidak dikenal dan tidak bernama. Kepala yang pusing,
tiba-tiba jadi membaik. Kantong cekak yang membuat dahi berkerut, berubah
menjadi ucapan terimakasih ke Tuhan. Isteri yang tadinya kelihatan seram jadi
lembut dan cantik.
Banyak hal bisa berubah setelah melakukan tindakan-tindakan model terakhir.
Saya tidak tahu, apa ini sebuah sugesti, atau ada tangan-tangan kekuatan alam
yang membuatnya demikian. Yang jelas, alam bisa demikian perkasa dan bertahan
lama, karena bergerak dalam siklus memberi, memberi dan memberi. Rumput hijau
memberi kesejukan. Matahari membawa energi. Air menghadirkan kehidupan.
Adakah mereka membutuhkan imbalan lebih?
Belajar dari ini semua, saya berusaha untuk mematikan keran di tempat umum yang
lupa ditutup orang lain. Membukakan pintu ke orang lain yang tidak dikenal di lokasilokasi
publik. Mengembalikan posisi pohon yang roboh. Mengubur kucing yang mati
digilas mobil orang.
Terbang Bersama Keheningan
BERAT, itulah kata yang bisa mewakili tantangan hidup kekinian. Orang miskin
dihadang penyakit di sana-sini. Orang kaya alisnya dibikin berkerut oleh berbagai
masalah. Sebagian malah sudah dipenjara, sebagian lagi menuggu giliran untuk
beristirahat di tempat yang sama. Manusia biasa menggendong berbagai beban ke
sana ke mari (dari mencari nafkah, menyekolahkan anak sampai dengan
mempersiapkan hari tua), pejabat maupun pengusaha juga serupa: senantiasa
ditemani masalah kemanapun ia pergi. Di desa banyak orang mengeluh, luas tanah
tetap namun jumlah manusia senantiasa tambah banyak. Sehingga setiap tahun
memunculkan tantangan penciptaan lapangan kerja. Bila tidak terselesaikan ia bisa
lari kemana-mana. Dari kejahatan sampai dengan kekerasan.
Digabung menjadi satu, jadilah kehidupan berwajah serba berat di sana-sini. Tidak
saja di negara berkembang, di negara maju sekali pun tantangannya serupa.
Kemajuan ekonomi Jepang yang demikian fantastis tidak bisa mengerem angka
bunuh diri. Kemajuan peradaban Amerika tidak membuat negara ini berhenti menjadi
konsumen obat tidur per kapita paling tinggi di dunia. Jangankan berbicara negeri
Afrika seperti Botswana. Rata-rata harapan hidup hanya 30-an tahun. Orang dewasa
di sana lebih dari 80 persen positif terjangkit HIV. Sehingga menimbulkan pertanyaan,
"Demikian beratkah beban manusia untuk hidup?"
Ada sahabat yang menghubungkan beratnya hidup manusia dengan hukum
gravitasinya Newton yang berpengaruh itu. Sudah menjadi pengetahuan publik,
kalau Newton menemukan hukum ini ketika duduk di bawah pohon apel, dan tibatiba
buahnya jatuh.
Sehingga Newton muda berspekulasi ketika itu, ada serangkaian hukum berat (baca:
gravitasi) yang membuat semua benda jatuh ke bawah. Sahabat ini bertanya lebih
dalam, "kalau gravitasi yang menarik apel jatuh ke bawah, lantas hukum apa yang
membawanya naik ke puncak pohon apel?" Dengan jernih ia menyebut "The law of
levitation" (hukum penguapan). Kalau gravitasi menarik apel ke bawah, penguapan
menariknya ke arah atas.
Dalam bahasa yang lugas sekaligus cerdas, sahabat ini mengaitkan kedua hukum
fisika ini ke dalam dua hukum kehidupan: "Hate is under the law of gravity, love is
under the law of levitation." Kebencian berkait erat dengan gravitasi karena mudah
sekali membuat manusia hidup serba berat dan ditarik ke bawah. Cinta berkaitan
dengan gerakan-gerakan ke atas. Karena hanya cinta yang membuat manusia
ringan dan terbang ke atas. Sungguh sebuah bahan renungan kehidupan yang
cerdas dan bernas.
Kembali ke soal hidup manusia yang serba berat, tidak ada manusia yang bebas
sepenuhnya dari masalah. Bahkan ada yang menyederhanakan kehidupan dengan
sebuah kata: penderitaan! Hanya saja kebencian berlebihan yang membuat semua
ini menjadi semakin berat dan semakin berat lagi. Ada yang benci pada diri sendiri,
ada yang membenci orang tua, suami, istri, teman, tetangga, atasan kerja, sampai
dengan ada yang membenci Tuhan.
Perhatikan wajah-wajah manusia kekinian yang miskin senyum, yang mudah
tersinggung, yang senantiasa minta diperhatikan, penerimaan bulanan yang serba
kurang, dan masih bisa ditambah lagi dengan yang lain. Semuanya berakar pada
yang satu: kebencian! Sehingga mudah dimengerti kalau perjalanan hidup seperti
buah apel, semakin tua semakin berat dan semakin ditarik ke bawah.
Terinspirasi dari sinilah, kemudian sejumlah guru mengurangi sesedikit mungkin
berjalan dalam hidup dengan beban-beban kebencian. Dan mencoba menarik
kehidupan ke atas menggunakan sayap-sayap cinta. Semua perjalanan cinta mulai
dari sini: mencintai kehidupan. Makanya sahabat-sahabat penekun meditasi
Vipasana berkonsentrasi pada keluar masuknya nafas. Tidak saja karena membuat
manusia mudah terhubung dengan hidup, tetapi berpelukan penuh cinta dengan
kehidupan. Dan segelintir penekun Vipasana yang telah berjalan amat jauh,
kemudian mengalami cosmic orgasm. Semacam orgasme kosmik yang ditandai oleh
terlihatnya keindahan di mana-mana. Karena semuanya terlihat serba indah, tidak
ada lagi dorongan untuk mencari jawaban. Bahkan pertanyaan sekalipun sudah
lenyap dari kepala. Ini yang disebut seorang guru dengan terbang bersama
keheningan.
Ada yang menyebut ini dengan emptiness. Sebuah terminologi timur yang amat
susah untuk dijelaskan dengan kata-kata manusia. Namun Dainin Katagiri dalam
Returning to Silence, menyebutkan: "The final goal is that we should not be
obsessed with the result, whether good, bad or neutral." Keseluruhan upaya untuk
tidak terikat dengan hasil. Itulah keheningan. Sehingga yang tersisa persis seperti
hukum alam: kerja, kerja dan kerja. Dalam kerja seperti ini, manusia seperti matahari.
Ditunggu tidak ditunggu, besok pagi ia terbit. Ada awan tidak ada awan, matahari
tetap bersinar. Disukai atau dibenci, sore hari dimana pun ia akan terbenam.
Mirip dengan matahari yang tugasnya berbeda dengan awan dan bintang. Kita
manusia juga serupa. Pengusaha bekerja di perusahaan. Penguasa bekerja di
pemerintahan. Pekerja bekerja di tempat masing-masing. Penulis menulis. Pertapa
bertapa. Pencinta yoga beryoga. Pengagum meditasi bermeditasi. Semuanya ada
tempatnya masing-masing. Ada satu hal yang sama di antara mereka: "Menjadi
semakin sempurna di jalan kerja". Soal hasil, sudah ada kekuatan amat sempurna
yang sudah mengaturnya. Keinginan apalagi kebencian, hanya akan membuatnya
jadi berat dan terlempar ke bawah.
Merendah Itu Indah
Di satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk
memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah
teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga
maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan
orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci. Di
neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi
lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh
lebih dipenuhi hiburan dibandingkan surga.
Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk
tinggal di neraka saja. Esok harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka.
Ada orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya.
Maka proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang
petugas terakhir menjawab: 'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu".
Dengan jengkel turis tadi bergumam: 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya,
Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya
lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan (trust) telah menjadi
komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini. Dan
sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu
mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan
tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak
ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu
mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang
demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang
mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi krisis
perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal :
trust capital.
Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus
ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan tidak percaya pada Bambang.
Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah
lingkaranketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan
seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah
diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila saja. Kita semua sedang
memproduksi diri seperti itu.
Andaikan di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh
ternyata di depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya :
tetangga depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimanakah reaksi
Anda? Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan
jawabannyapun amat beragam.
Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya
', menempatkan tahi sapi tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin
peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang melengkapi
diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya dari
segi baiknya' menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan
rumah. Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai kotoran
yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif
dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian
persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa
lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan
berkuasa dalam pikiran kita.
Cerita tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi lain,
setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan
pikiran sayapun tidak seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul
di luar kesadaran.
Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor
yang stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki,
stang-nya hanya akan melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama
bekerja di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat
wajah pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut
sebagai pengkondisian yang mematikan.
Peperangan melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang paling
menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda,
namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya
untuk merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air
sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani
merendah.
Demikian juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya
telah mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan
ukurannya, saya memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya,
Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya
peroleh, lebih banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak- injak orang.
Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan
kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang
pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site saya mengutip Rabin
Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***
Kaya Karena Sederhana
Menjadi orang kaya, itulah cita-cita banyak sekali orang. Hal yang sama juga pernah
melanda saya. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMU, kemudian menyaksikan
ada rumah indah dan besar, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi
menikmati keindahan rumahnya, sering saya bertanya ke diri sendiri : akankah saya
bisa sampai di sana?. Sekian tahun setelah semua ini berlalu, setelah berkenalan
dengan beberapa orang pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan
rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, atau menjadi penasehat tidak sedikit
orang kaya, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi
bayangan dulu.
Penyelaman saya secara lebih mendalam bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan
untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata
kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Ada pengusaha yang menatap
semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk
kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada sahabat yang berganti mobil
termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur
nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa Ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi
wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut pada kekayaan materi.
Dalam tataran pencaharian seperti ini, tiba-tiba saja saya membaca karya Shakti
Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 yang menulis : ?If
we have too many things we dont truly need or want, our live become overly
complicated?. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul
dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks.
Rupanya saya tidak sendiri dalam hal ketakutan bertemu hidup yang amat rumit
karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan. Shakti Gawain
juga serupa. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan,
ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana tidur saya amat terganggu di hari pertama
ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi.
Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan.
Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat saya hampir jadi paranoid.
Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya,
kekayaan materi memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat),
namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan
kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa habis
oleh kekayaan materi.
Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan materi juga
menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi
dan lebih tinggi lagi. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia
untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki
harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan rasa
syukur. Apa lagi kalau harapan bisa mendorong orang bekerja amat keras, plus
keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi,
harapan ini terbang dan berlari liar. Dan kemudian membuat kehidupan berlari
seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.
Berefleksi dan bercermin dari sinilah, saya sudah teramat lama meninggalkan
kehidupan yang demikian ngotot mengejar kekayaan materi. Demikian tidak
ngototnya, sampai-sampai ada rekan yang menyebut saya bodoh, tidak mengerti
bisnis, malah ada yang menyebut teramat lugu. Untungnya, badan kehidupan saya
sudah demikian licin oleh sebutan-sebutan. Sehingga setiap sebutan, lewat saja
tanpa memberikan bekas yang berarti.
Ada sahabat yang bertanya, bagaimana saya bisa sampai di sana ? Entah benar
entah tidak, dalam banyak keadaan terbukti kalau saya bisa berada di waktu yang
tepat, tempat yang tepat, dengan kemampuan yang tepat. Ketika ada perusahaan
yang membutuhkan seseorang sebagai pemimpin yang cinta kedamaian, saya ada
di sana. Tatkala banyak perusahaan kehilangan orientasi untuk kemudian mencari
bahasa-bahasa hati, pada saat yang sama saya suka sekali berbicara dan menulis
dengan bahasa-bahasa hati. Dikala sejumlah kalangan di pemerintahan mencari-cari
orang muda yang siap untuk diajak bekerja dengan kejujuran, mereka mengenal dan
mengingat nama saya. Sebagai akibatnya, terbanglah kehidupan saya dengan
tenang dan ringan. Herannya, bisa sampai di situ dengan energi kengototan yang di
bawah rata-rata kebanyakan orang. Mungkin tepat apa yang pernah ditulis Rabin
Dranath Tagore dalam The Heart of God : ?let this be my last word, that I trust in
Your Love?. Keyakinan dan keikhlasan di depan Tuhan, mungkin itu yang menjadi
kendaraan kehidupan yang paling banyak membantu hidup saya.
Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam setiap doa saya senantiasa memohon
agar seluruh permohonan saya dalam doa diganti dengan keikhlasan, keikhlasan
dan hanya keikhlasan. Tidak hanya dalam doa, dalam keseharian hidup juga
demikian. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada
yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada
sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu
sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara demikian
kita bisa kaya dengan jalan sederhana.
About Me
Labels
- Kehidupan (15)
- Kesehatan (6)
- Kesuksesan (10)
- Senyum (4)
- Seputar blackberry (3)
- Seputar Otak (4)
Entri Populer
-
Chatting di BBM memang menyenangkan, tambah menyenangkan lagi bila kita bisa menambahkan berbagai emoticon atau simbol-simbol lucu saat chat...
-
Pernyataan John. F. Kennedy ini saya yakini kebenarannya. Itu bukan sekedar retorika, tetapi memang sudah terbukti dalam perjalanan hidup sa...
-
Kamu akan membeli sebuah Blackberry? lalu bingung karena tidak mengetahui bagaimana sih Blackberry yang asli itu? Jangan-jangan nanti yang k...