Sabtu, 30 Oktober 2010

Menanam Bunga Perhatian

Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu Teresa
pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan di panti jompo
ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal di sini, ketika duduk di
ruangan untuk menonton tv, bukannya memandang tv, hampir semua mata menatap
pintu masuk.

Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian.
Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di
kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah
mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu
masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu
persatu.
Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore
orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil
memandangi jalan.
Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak
saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.
Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini,
setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang jelas, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, tua muda, di kota maupun
di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang
amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang,
hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga
tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya.
Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng
ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara
atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang di puncak dengan orang
di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian
bukti yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan
pemimpin yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan
keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang
miskin perhatian juga.
Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau
organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka kapan bisa terbentuk
barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?
Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis : "We must remember that love begins at home, and we
must also remember that the future of humanity passes through The Family".
Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah.
Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab
masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak
merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali
meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap
hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan
anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu
yang kurang.
Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya
juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya
sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak
ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam
diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang
amat saya cintai ini? Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan
jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan
kuantitas hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi.
Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap
anak mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layanglayang
yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga.
Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.
Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan
Papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta
bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab
semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi
keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian
kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di manamana
di rumah.
Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik
sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing
kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka
naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang
menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan.
Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang
saling memperhatikan? *****

Baca selengkapnya......
READ MORE - Menanam Bunga Perhatian
Jumat, 15 Oktober 2010

Kendaraan Menuju Kebahagiaan

Salah satu dari sangat sedikit buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis adalah
buku Dalai Lama bersama Howard C. Cutter yang berjudul The Art of Happiness.
Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti
menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan dengan manusia dengan
tantangan yang amat besar - bayangkan negerinya dianeksasi Cina dalam waktu
yang lama - namun masih bisa menyebut diri berbahagia.


Lama sempat saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian terakhir. Dan
merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan 'raksasa' kehidupan sehebat
Dalai Lama. Di manapun kita bertemu tokoh ini, di televisi, di media cetak atau di
hampir semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba
tersenyum. Padahal, kehidupannya - sebagaimana dituturkan Cutter - tidak sedikit
yang ditandai oleh banjir kesedihan.
Ada seorang rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua
puluh tahun. Orang tua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang
menginjak-injak ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang
dalam waktu amat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang
bernyawa, tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi
ke sekolah. Dan semakin besar hasil bunuhannya, maka semakin besar juga nilainya
di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci bangsa Tibet.
Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir
bandang kesedihan yang demikian dahsyat. Kalau orang biasa seperti saya
mengalaminya, mungkin ceritanya menjadi amat lain. Sehingga menimbulkan
pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan dahsyat yang bisa membawa Dalai
Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang? Sampai sekarangpun
saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai manusia yang hidup di zaman ini,
tidak sedikit orang menggunakan materi dan hal-hal eksternal lain sebagai
kendaraan menuju kebahagiaan. Perlombaan materi terjadi di mana-mana.
Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desapun perlombaan
terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan 'spiritual'. Terutama,
melalui perlombaan mau disebut paling mengetahui, paling peka dengan sinyalsinyal
Tuhan dan sejenisnya. Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga
terjadi perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di
Yugoslavia hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut
lebih benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan 'perlombaan'
sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan
yang tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian
meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa
'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke
sana.
Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia
yang kesepian di keramaian. Atau kelaparan di tengah kekayaan materi yang
melimpah. Atau malah dihimpit kebencian di tempat ibadah yang suci dan mulia. Dan
secara jujur harus saya katakan ke Anda, sayapun kadang-kadang ditulari penyakit
serupa. Serta membuat saya bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita ini
sedang hidup?
Seorang sahabat sekaligus guru yang sering memberi inspirasi ke saya pernah
bertutur, dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang
Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama
Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan
kehadiran fisik. Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan
dalam kedamaian dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan
perlombaan kebenaran di tempat ibadah, saya mau bertanya: masihkah kita layak
untuk berdoa dari tempat suci ini? Kembali ke soal awal tentang kendaraan menuju
kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang menyimpulkan bahwa
perlombaan materi, maupun perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat
dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan ke dalam lembah
dalam dan mengerikan.
Lantas punyakah kita kendaraan alternatif?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanya beliau telah lama tidak
menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perjalanannya
keliling dunia, bertutur serta berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang
mau mendengarkan, bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya, ia
sedang menunjukkan ke kita tentang kendaraan beliau yang amat lain. Di sebuah
kesempatan ia pernah bertanya ke seorang rahib Budha yang baru saja keluar dari
penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang dihadapi
ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana: kehilangan rasa
perdamaian dengan bangsa Cina. Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini,
namun bagi saya ia memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju
kebahagiaan. Rupanya, kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain,
bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai
dibandingkan kendaraan manapun. Anda punya kendaraan lain?

Baca selengkapnya......
READ MORE - Kendaraan Menuju Kebahagiaan
Jumat, 01 Oktober 2010

Mengubah Cacian Jadi Kekaguman

MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah kemauan banyak
sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti itu ada, tentu ada terlalu
banyak manusia yang juga menginginkannya. Sayangnya wajah kehidupan seperti
ini tidak pernah ada. Sehingga jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan
hanya sebagai khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.

Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya: kenapa Yesus
tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya sesama Amerika menimpali
sambil bercanda: memangnya ada wanita Amerika yang masih perawan? Namanya
juga canda, tentu tidak disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi
tersinggung. Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah
manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh cacian
sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan seperti Nelson
Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama. Semuanya dibikin kuat
sekaligus terhormat oleh penderitaan.
Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara, disakiti serta
diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan disegani namun juga menjadi
modal demokrasi yang mengagumkan bagi Afrika Selatan. Gandhi besar dan
menjulang karena terketuk amat dalam hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi
dan penjajahan. Dan yang lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia
menolak memetik buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama
sekaligus mengancam nyawa.
Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan. Menginjak umur
dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai sekarang sudah hidup di
pengungsian selama tidak kurang dari empat puluh lima tahun. Setiap hari menerima
surat sekaligus berita menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet
sampai sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.
Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar kesedihan Dalai
Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima hadiah nobel perdamaian di
tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke negara-negara maju disambut lebih meriah
dari penyanyi rock yang terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian
banyak orang. Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang
menyimpulkan kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.
Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita Peron.
Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena ayahnya meninggal.
Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi pembantu rumah tangga.
Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi bar. Dan bahkan sempat diisukan
miring dalam dunia serba gemerlap ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak
mengakhiri penderitaan, malah menambah panjangnya aliran sungai air mata.
Namun kehidupan Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia
bercahaya, di dunia ia juga bercahaya.
Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron. Tidak
saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam. Namun
kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam. Sebagaimana yang ia
tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan kejernihan Pema Chodron mulai
dengan sebuah kesedihan yang tidak terduga: suaminya mengaku jatuh cinta pada
wanita lain dan minta segera cerai. Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap
berjalan.
Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga yang
membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga di salah
satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan kalau mantan
suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya, ternyata seorang pembuka
pintu kehidupan yang mengagumkan.
Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini mengalami
banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau soal hampir mati, atau
hampir diterjang peluru panas sudah biasa. Namun tatkala membawa misi
perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah Vietnam melarangnya kembali ke
Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis.
Dan penderitaan serta kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat
nama Hanh demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai
pemenang hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karyakaryanya
lebih dari sekadar mengagumkan.
Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat besar oleh
penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang. Namun semua ini sedang
membukakan pintu kehidupan yang amat berguna: penderitaan dan cacian orang
ternyata sejenis vitamin jiwa yang membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan
judul sebuah buku indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit,
penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya. Tidak saja
lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon agar dijauhkan dari
penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.
Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron sampai
dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya manusia-manusia yang
penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di tengah cacian dan penderitaan,
kemudian jiwanya menyala menerangi kehidupan banyak sekali orang.
Ternyata, penderitaan dan cacian orang – di tangan manusia-manusia sabar dan
tabah – bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian.
Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang
serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan?

Baca selengkapnya......
READ MORE - Mengubah Cacian Jadi Kekaguman

Kekayaan Manusia Yang Terbesar

SEORANG sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor,
pulang malam dalam kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di
kulit, kemudian bertanya: untuk apa hidup ini? Ada juga orang tua yang sudah benarbenar
lelah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang tua, dewasa mengungsi ke
lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya serupa.
Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam.

Ada
yang mencari kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan
kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai
mengorbankan hampir segala-galanya. Dan tentu saja sudah menjadi hak masingmasing
orang untuk memilih jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau
berlari memburu kekayaan (luar maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai,
pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak
sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian
bahkan mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti.
Terutama dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan
kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan
soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia
memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang orang
bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan: contentment is the greatest
wealth.
Tentu agak unik kedengarannya. Terutama di zaman yang serba penuh dengan
hiruk pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar,
tentu bisa dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai
antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Cuma, bagi
setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur
"cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang
terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja.
Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui
hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan
lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan
rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk
dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun
rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan
kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga
serta teman. Dengan semua perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika
rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian manusia menemukan
banyak kawan, di hutan yang paling sepi sekalipun ia menemukan banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih
sekadar memaksa diri agar damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan.
Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, manusia seperti terlempar
dengan nyaman ke sarang laba-laba kehidupan.
Di mana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari,
dll) serba terhubung, sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah titik
pusat. Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencarian
kekayaan ke luar yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia
terguncang menakutkan di pinggir roda. Namun di titik pusat, tidak ada putaran.
Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi
yang belum pernah mencoba, apa lagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati,
hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan.
Hanya keberanian untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan
orang-orang yang mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta
rasa cukup di lain sisi.
Bila orang-orang seperti ini berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang
suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun pintar
mengagumkan di dalam.
Biasa tampak luarnya, namun luar biasa pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi,
karena rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan
akan penilaian orang lain. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus
bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam
novel indahnya berjudul 'pergi ke mana hati membawamu' ia kurang lebih menulis:
kata-kata ibarat sapu.
Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana.
Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata
lain, pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya
menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain (seperti sapu).
Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih tanpa
menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu
karyanya yang mengagumkan (Shambala, The sacred path of the warrior), ia
menulis: this basic wisdom of Shambala is that in this world, as it is, we can find a good and
meaningful human life that will also serve others. That is our richness. Itulah kekayaan yang
mengagumkan, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang
seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan
bermakna buat pihak lain. ***

Baca selengkapnya......
READ MORE - Kekayaan Manusia Yang Terbesar

Entri Populer

Sigueme en Twitter