Mesin-Mesin Pembuat Manusia
Dulu, ketika masih melanjutkan studi di Lancaster Inggris, dan mendalami sebuah
bidang yang bernama the social construction of technology, banyak sahabat dan
profesor yang meragukan kalau bidang ini memiliki masa depan yang meyakinkan.
Entah dari mana datangnya keyakinan saat itu, saya cuek saja dengan keraguan
sahabat-sahabat di atas. Sekian tahun setelah semua itu berlalu, ternyata pilihan
saya tidak keliru. Di tahun-tahun terakhir, saya berhadapan dengan antrean panjang
undangan menjadi nara sumber di bidang teknologi informasi (TI). Bukan karena
saya seorang pakar TI, tetapi karena segi sosial dari teknologi menarik minat banyak
sekali orang.
Ini juga terjadi ketika Microsoft Indonesia meluncurkan produk baru mereka dengan
nama Microsoft XP awal Juni 2001. Di depan ratusan pimpinan puncak perusahaan
serta manusia-manusia TI, saya harus bertutur tentang pergeseran-pergeseran
peran TI dalam komunitas manusia. Sebagaimana pernah saya tulis sebelumnya,
terjadi pergeseran yang amat meyakinkan, dari fungsi TI yang paling tradisional
dalam bentuk supporting function kemudian menuju automating, informating,
reformatting dan kemudian enlightening.
Bagi saya fungsi-fungsi supporting, automating, informating, secara meyakinkan
sedang berlalu dan siap-siap untuk lenyap dari peredaran. Dan tanpa kesadaran
yang meyakinkan, umat manusia sedang diformat ulang (reformatting) oleh TI. Lihat
cara kita bekerja, cara kita hidup, cara anak-anak kita berpacaran, semua dirubah
secara meyakinkan oleh TI.
Saya mengelola sebuah perusahaan dengan dua ribu orang karyawan di Jawa
Tengah dan sebuah perusahaan konsultan di Jakarta, serta melaksanakan tugas
sebagai pembicara publik di banyak kota, plus hobi harus menulis tujuh tulisan dalam
sebulan. Semua itu tidak hanya berjalan relatif tanpa hambatan, tetapi bergerak dari
satu kemajuan menuju kemajuan yang lain.
Di satu kesempatan harus menunaikan tugas sebagai anak yang harus menengok
orang tua di kampung yang tidak dijangkau telepon di Bali Utara sana, toh semua
pekerjaan dan kegiatan di atas bisa berjalan. Tidak ada dunia kiamat kalau kantor
ditinggalkan seminggu lebih. Bahkan kerap tidak ada bawahan yang tahu kalau saya
berada di kampung sana.
Ini baru cara kerja. Cara hidup saya berubah total oleh TI. Menelepon isteri di rumah
– terutama karena hampir setiap minggu terbang meninggalkan Jakarta – hampir
dilakukan setiap hari. Puteri saya kerap mengirim pesan-pesan SMS yang
menyejukkan. Putera saya yang kedua kadang mengirim ‘bunga’ lewat e-mail.
Sebelum pulang melakukan synchronize terhadap personal digital assistant,
kemudian mengerjakan semua sisa e-mail di tengah kemacetan Jakarta. Sehingga
sampai di rumah, kepala sudah kosong dengan pekerjaan, kemudian hanya
memikirkan anak-anak dan anak mertua.
Cara anak-anak kita berpacaran diformat lain lagi oleh teknologi. Dulu, ketika saya
berpacaran dengan seorang wanita yang sekarang sudah menjadi Ibunya anak-anak,
setiap Sabtu malam harus datang bertamu, bercakap-cakap seperlunya denga calon
mertua, dan seterusnya. Sekarang, tidak sedikit anak-anak remaja yang berpacaran
dengan cara chatting. Tidak keluar rumah, hanya duduk di depan komputer, namun jangan pikir tidak ada resiko. Kata-kata yang digunakan, tidak sedikit kata-kata kotor
yang tidak pernah digunakan orang tua mereka dulu.
Dalam totalitas, TI sudah menjadi serangkaian mesin yang sedang membuat kita.
Tanpa kesiapan yang memadai, merekalah yang akan menguasai kita. Bukan tidak
mungkin, kalau suatu saat TI akan menjadi pemerintah komunitas manusia. Dan
celakalah kita dibuat oleh teknologi yang kita buat ini.
Oleh karena kekhawatiran inilah, kemudian saya mengajak banyak sahabat-sahabat
TI untuk masuk ke enlightening function of IT. Di mana, TI tidak saja perlu kita
‘nikahi’, tetapi juga digunakan sebagai sumber-sumber yang bisa mencerahkan
hidup dan kehidupan. Sebut saja situs-situs internet yang mengajarkan Yoga,
meditasi, atau pengetahuan-pengetahuan agama. Dan lebih dari sekadar
menghadirkan pengetahuan-pengetahuan yang mencerahkan, kemanjaankemanjaan
yang dihadirkan TI (sebagai contoh Microsoft XP yang baru diluncurkan),
bisa memberi kita banyak waktu untuk beryoga, meditasi, pergi ke Mesjid, Gereja
atau memberi kita lebih banyak waktu untuk melakukan refleksi.
Saya bisa melakukan meditasi setidak-tidaknya dua kali sehari, menemui anak dan
isteri setiap hari dari tempat yang amat jauh sekalipun, dan bisa mengerjakan
pekerjaan apapun tanpa batas ruang dan waktu yang terlalu mengganggu. Dan
semua itu bisa dilakukan, karena ada dukungan-dukungan TI. Maka dari itulah,
sejalan dengan Compaq yang menempatkan TI sebagai inspiration technology, saya
menempatkannya sebagai enlightening technology. Sebagai kendaraan untuk
mencapai tujuan-tujuan hidup yang mencerahkan. Dengan semakin banyak waktu
untuk keluarga, membaca, bermeditasi, beryoga – dan ini sangat dimungkinkan oleh
kehadiran TI, bukankah hidup dan kehidupan kemudian membawa kemungkinan
pencerahan yang lebih tinggi?. Dan yang lebih penting lagi, dengan cara itu, kita bisa
mengurangi kemungkinan dibuat ulang oleh mesin-mesin yang bernama teknologi.
Menemukan Harta Karun Termahal
Salah satu jenis film tontonan yang kerap saya lihat dulu ketika berumur masih amat
muda, adalah perjalanan sejumlah orang mencari harta karun di tempat yang amat
jauh. Menarik, seru dan menegangkan, itulah alasan kami ketika itu duduk di bioskop
atau di depan tv ber jam-jam. Menarik, karena menghadirkan pengalaman perjalanan
yang disertai pemandangan daerah pedalaman yang indah. Seru, sebab disertai
adegan-adegan yang susah ditebak arahnya. Menegangkan, terutama karena
serangkaian tantangan berat senantiasa menghadang di depan mata.
Ketika itu, tidak pernah terbayangkan sedikitpun kalau perjalanan hidup ini amat
serupa dengan perjalanan mencari harta karun. Menarik, tentu saja karena
pemandangan-pemandangan yang hadir di depan mata demikian bervariasi.
Demikian menarik dan asiknya, sampai-sampai ada banyak sekali orang yang tidak
sadar kalau satu tahun sudah berlalu. Atau tiba-tiba baru sadar kalau umur sudah
tua, terutama setelah melihat putera-puteri beranjak dewasa. Disamping
mengasikkan, ada tidak sedikit manusia yang amat takut kematian. Apa lagi
sebabnya kalau bukan karena daya tarik sang hidup yang demikian memikat.
Disamping menarik, perjalanan sang hidup juga seru, sebab tidak jarang terjadi kita
harus ‘berperang’ dengan banyak kekuatan. Ada perang melawan diri sendiri, ada
perang melawan ketidakjujuran, ada perang melawan ketertindasan, dan masih
banyak lagi perang lainnya. Dan terakhir tentu saja juga menantang, secara lebih
khusus karena tidak seorangpun tahu bagaimana persisnya wajah masa depan.
Tiba-tiba tanpa persiapan memadai ia hadir di depan mata.
Bedanya, kalau dalam film-film di atas, jelas dan tegas harta karunlah yang
digunakan sebagai sasaran buruan. Dalam perjalanan kehidupan, sasaran
buruannya disamping berbeda dari satu orang ke orang yang lain, juga bergerak dan
berubah sejalan dengan kedalaman renungan masing-masing.
Ada memang sekumpulan manusia yang seluruh hidupnya hanya digunakan mencari
harta dan tahta. Dan bahkan sampai di ujung kehidupanpun masih menangisi harta
yang ditinggalkan. Di bagian lain, ada juga manusia yang sama sekali tidak perduli
akan harta dan tahta. Satu-satunya yang ia perdulikan hanyalah perjalanan menuju
Tuhan. Di antara dua kutub ekstrim ini, kadang ada sisa-sisa renungan yang tercecer.
Sekaligus menghadirkan pertanyaan mendasar, apakah yang kita cari dalam
perjalanan hidup yang demikian melelahkan ini?
Bagaimana tidak melelahkan, saya menghabiskan hampir dua puluh tahun duduk di
bangku sekolah formal. Bergelut dengan kehidupan kerja hampir enam belas tahun.
Berkelana dalam kehidupan pernikahan yang banyak godaan telah delapan belas
tahun. Tidak sedikit di antaranya diwarnai air mata kesedihan, perang hati nurani,
bahkan kadang mengancam nyawa. Dalam rangkaian perjalanan seperti ini, sangat
layak kalau bertanya ulang, apa yang kita cari?
Entah sampai di tataran pemahaman mana perjalanan Anda sejauh ini, tetapi
semakin saya selami dan dalami, semakin saya tahu kalau hidup adalah sebuah
perjalanan ke dalam diri. Berbeda dengan harta karun yang harus kita cari, dan
membawa kemungkinan terbukanya sebuah penemuan, harta karun kehidupan ada
pada proses belajar. Ya sekali lagi ada pada proses belajar. Bukan pada tujuan
akhirnya. Ini penting untuk dipahami dan didalami, karena perjalanan menemukan
diri sendiri adalah sejenis perjalanan yang tidak mengenal garis finish.
Karena tidak ada titik akhirnya inilah, maka saya menaruh banyak hormat kepada
sejumlah pilosopi timur yang menekankan pentingnya hidup di hari ini (living in the
now). Tidak sekadar hidup berfoya-foya dan menghabiskan kenikmatan tentunya.
Melainkan, hidup penuh kesadaran dan rasa syukur. Pada kesempatan lain, saya
memang pernah mengutip tingkatan-tingkatan manusia ala seorang sahabat
pengusaha. Dari manusia bodoh, pintar, licik sampai dengan manusia beruntung.
Dan konon manusia beruntunglah yang tidak bisa dikalahkan oleh manusia licik.
Bercermin pada pentingnya hidup penuh kesadaran di hari ini, ada manusia yang
lebih berbahagia dibandingkan manusia yang beruntung, yakni manusia yang tidak
lagi terikat pada apapun. Ketika dipuja karena berada di atas, ia yakin harta dan
tahtalah yang dipuja orang. Tatkala dihina karena jatuh ke lumpur kehidupan,
ketiadaan harta dan tahta yang membuatnya jadi demikian. Dengan kata lain, diri ini
yang sebenarnya tidaklah pernah disentuh pujian dan makian. Oleh karena itu,
kenapa mesti gembira ketika dipuji dan menangis ketika dimaki? Demikianlah pilihan
sikap manusia-manusia langka yang sudah bebas dari keterikatan.
Tidak ada satu kekuatanpun yang bisa mendikte orang jenis terakhir. Ketika sibuk
dalam kerja ia menikmati kerjanya dengan suka cita. Tatkala PHK menghadang ia
habiskan waktunya untuk belajar pilosopi dan agama. Mana kala anak-anak masih
kecil, kita ajak mereka hidup dalam tawa dan canda. Dan bila mereka sudah besar
dan mandiri, kalau dibantu hidup syukur, kalau tidak dibantu bisa jadi jalan hidup
sudah seperti itu.
Dalam hidup yang tidak lagi dibelenggu keterikatan, yang ada hanyalah kebebasan
dan keikhlasan di depan Tuhan. Entah Anda setuju entah tidak, sampai dengan
perjalanan hidup saya sekarang, inilah berkah dan harta karun terbesar yang pernah
diberikan ke saya. Dengan kerendahan hati di depan Tuhan, saya hanya bisa
berucap lirih: "terima kasih Tuhan!".
Menanam Bunga Perhatian
Dalam sebuah kunjungan ke sebuah panti jompo yang serba kecukupan, Ibu Teresa
pernah memiliki pengalaman yang patut di simak. Kendati kehidupan di panti jompo
ini tergolong lebih dari cukup, semua orang tua yang tinggal di sini, ketika duduk di
ruangan untuk menonton tv, bukannya memandang tv, hampir semua mata menatap
pintu masuk.
Alasan kenapa mereka menatap pintu masuk, karena semuanya berharap akan
dikunjungi oleh anak, keluarga atau saudara yang bisa memberi mereka perhatian.
Membaca pengalaman ini, saya teringat sedih ke Bapak saya yang tinggal di
kampung sana. Di umurnya yang sudah berkepala sembilan, setiap sore setelah
mandi, beliau selalu diminta dipapah dan disediakan kursi untuk duduk di pintu
masuk rumah. Untuk kemudian, menatap setiap orang yang lewat di jalan satu
persatu.
Tetangga saya sebelah rumah di Bintaro Jaya juga demikian. Hampir setiap sore
orang tua yang berjalan dibantu kursi roda ini, duduk di depan rumahnya sambil
memandangi jalan.
Tadinya, saya tidak tahu apa yang mereka fikirkan, tetapi ketika membaca
pengalaman Ibu Teresa di atas, ada semacam perasaan berdosa terhadap Bapak
saya di kampung, demikian juga dengan orang tua sebelah rumah.
Rupanya, mereka amat rindu perhatian. Di umur-umur yang tidak lagi produktif ini,
setangkai bunga perhatian adalah vitamin-vitamin kejiwaan yang amat dibutuhkan.
Yang jelas, siapapun Anda dan di manapun Anda berada, tua muda, di kota maupun
di desa, semua memerlukan perhatian orang lain. Sayangnya, banyak orang yang
amat pelit untuk memberikan bunga perhatian buat orang lain. Tidak sedikit orang,
hanya meminta untuk diberikan bunga terakhir. Padahal, bunga terakhir berharga
tidak mahal. Bahkan, kita tidak membelinya.
Dalam ruang lingkup yang lebih besar, alasan ekonomi biaya tinggi sebagai tameng
ketidakmampuan dalam mensejaterakan karyawan, jauhnya jarak sosial antara
atasan dengan bawahan, tingginya rasio antara gaji orang di puncak dengan orang
di bawah, teganya politisi membunuh orang untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu,
atau koruptor yang rela mengkorupsi dana untuk rakyat miskin, adalah rangkaian
bukti yang bisa membawa saya pada kesimpulan, betapa langkanya orang dan
pemimpin yang kemana-mana membawa setangkai bunga perhatian.
Memang, ada orang yang memiliki teori, bahwa kalau kita lahir dari masyarakat dan
keluarga yang miskin perhatian, maka kitapun akan terbentuk menjadi manusia yang
miskin perhatian juga.
Inilah problemanya. Jika menunggu sampai masyarakat dan keluarga berubah, atau
organisasi berubah baru kemudian individunya berubah, maka kapan bisa terbentuk
barisan manusia lengkap dengan bunga perhatian yang indah ?
Ibu Teresa tepat sekali ketika menulis : "We must remember that love begins at home, and we
must also remember that the future of humanity passes through The Family".
Ini berarti, bunga perhatian mesti mulai ditanam, dipupuk dan disemai di rumah.
Sebab, dari rumahlah bunga indah ini disebarkan. Kenapa mulai dari rumah, sebab
masa depan kemanusiaan berjalan melalui institusi keluarga.
Bercermin dari sini, kadang saya dihinggapi perasaan berdosa. Sebab, semenjak
merangkap menjadi eksekutif, konsultan, pembicara publik dan penulis, sering kali
meninggalkan rumah pada hari Senen pagi dan pulang Jumat malam. Kendati setiap
hari saya menelepon ke rumah, merayu isteri beberapa menit, bercanda dengan
anak-anak, minta dibelikan oleh-oleh apa, dan seterusnya, tetapi tetap ada sesuatu
yang kurang.
Putera saya yang bungsu, sering kali meminta makan di pangkuan saya tatkala saya
juga makan. Wika puteri semata wayang saya, semangat sekali setiap kali saya
sampai di rumah. Adi, putera kedua saya, sering kali merengek ke supir agar diajak
ikut menjemput saya di bandar udara. Semua itu, membuat perasaan berdosa dalam
diri ini. Bagaimanakah saya akan menanam bunga perhatian dalam keluarga yang
amat saya cintai ini? Kadang, saya berharap memiliki waktu empat puluh delapan
jam sehari. Sempat teringat petuah teman untuk meningkatkan kualitas bukan
kuantitas hubungan dengan anak. Atau mengkompensasinya dengan materi.
Akan tetapi, tetap tidak bisa memberikan kompensasi. Apapun bayarannya, setiap
anak mendambakan Papanya ikut bermain dengan mereka. Menaikkan layanglayang
yang ingin diterbangkan. Menendang bola yang gawangnya mereka jaga.
Menggambarkan kelinci dalam kertas yang anak-anak sediakan.
Menjemput puteri saya di sekolah yang sedang sombong-sombongnya memamerkan
Papanya serta mobilnya, mengantar Adi berenang, menaikkan layang-layang, serta
bermain game sepuasnya, atau mengajak Komang berjalan-jalan dan menjawab
semua keingintahuannya, atau menemani isteri sehari penuh dan memenuhi
keinginannya, adalah serangkaian mimpi yang jarang bisa saya penuhi. Serangkaian
kegiatan, yang sebenarnya bisa membuat pohon bunga perhatian tumbuh di manamana
di rumah.
Sering kali saya dibuat iri oleh tetangga yang amat rajin menemani anaknya naik
sepeda berkeliling komplek. Ada juga yang setiap pagi memandikan anjing
kesayangan sang anak, menuntun anak sampai gerbang sekolah, mengajari mereka
naik sepeda. Lebih iri lagi, kalau di bandar udara saya bertemu seorang suami yang
menggandeng isterinya dengan penuh kemesraan.
Semacam lahan subur untuk bunga perhatian, bukankah akan membahagiakan
sekali jika kita bekerja di sebuah organisasi yang diisi oleh manusia-manusia yang
saling memperhatikan? *****
Kendaraan Menuju Kebahagiaan
Salah satu dari sangat sedikit buku yang saya baca pelan-pelan sampai habis adalah
buku Dalai Lama bersama Howard C. Cutter yang berjudul The Art of Happiness.
Awalnya, buku ini saya baca secara cepat. Akan tetapi, semakin diselami, ia seperti
menghadirkan kedamaian tersendiri. Seperti berhadapan dengan manusia dengan
tantangan yang amat besar - bayangkan negerinya dianeksasi Cina dalam waktu
yang lama - namun masih bisa menyebut diri berbahagia.
Lama sempat saya dibuat tercenung oleh tokoh perdamaian terakhir. Dan
merasakan sendiri, betapa kecilnya saya di hadapan 'raksasa' kehidupan sehebat
Dalai Lama. Di manapun kita bertemu tokoh ini, di televisi, di media cetak atau di
hampir semua kesempatan, kita senantiasa bertemu dengan mimik muka yang serba
tersenyum. Padahal, kehidupannya - sebagaimana dituturkan Cutter - tidak sedikit
yang ditandai oleh banjir kesedihan.
Ada seorang rahib Tibet yang disiksa dalam tahanan Cina selama lebih dari dua
puluh tahun. Orang tua yang menangis karena anaknya dididik di sekolah yang
menginjak-injak ajaran dan keyakinan orang Tibet. Bayangkan, bangsa Tibet yang
dalam waktu amat lama meyakini tidak boleh membunuh segala sesuatu yang
bernyawa, tiba-tiba generasi mudanya disuruh membunuh binatang setiap kali pergi
ke sekolah. Dan semakin besar hasil bunuhannya, maka semakin besar juga nilainya
di sekolah. Belum lagi penghancuran tempat-tempat suci bangsa Tibet.
Dirangkum menjadi satu, kehidupan seorang Dalai Lama ditandai oleh banjir
bandang kesedihan yang demikian dahsyat. Kalau orang biasa seperti saya
mengalaminya, mungkin ceritanya menjadi amat lain. Sehingga menimbulkan
pertanyaan besar bagi saya, apa kendaraan dahsyat yang bisa membawa Dalai
Lama sampai dalam tataran kebahagiaan yang sekarang? Sampai sekarangpun
saya masih meraba-raba. Yang jelas, sebagai manusia yang hidup di zaman ini,
tidak sedikit orang menggunakan materi dan hal-hal eksternal lain sebagai
kendaraan menuju kebahagiaan. Perlombaan materi terjadi di mana-mana.
Lomba model terakhir, tidak hanya monopoli orang kota. Di desapun perlombaan
terjadi. Dari perlombaan materi sampai dengan perlombaan 'spiritual'. Terutama,
melalui perlombaan mau disebut paling mengetahui, paling peka dengan sinyalsinyal
Tuhan dan sejenisnya. Bahkan di pojokan tertentu kehidupan beragama juga
terjadi perlombaan. Kasus pembunuhan antarumat di Maluku, demikian juga di
Yugoslavia hanyalah sebagian kecil dari demikian banyak kasus lomba mau disebut
lebih benar. Maka jadilah kita sekumpulan manusia yang menempatkan 'perlombaan'
sebagai kendaraan menuju kebahagiaan. Kalau ukurannya adalah pembunuhan
yang tidak pernah berhenti, kesengsaraan yang meningkat terus, atau kebencian
meningkat serta kasih sayang yang menyusut, maka boleh dikatakan bahwa
'perlombaan' sebagai kendaraan menuju kebahagiaan telah gagal membawa kita ke
sana.
Sebagai orang yang hadir di banyak kesempatan, sering kali saya bertemu manusia
yang kesepian di keramaian. Atau kelaparan di tengah kekayaan materi yang
melimpah. Atau malah dihimpit kebencian di tempat ibadah yang suci dan mulia. Dan
secara jujur harus saya katakan ke Anda, sayapun kadang-kadang ditulari penyakit
serupa. Serta membuat saya bertanya, dalam struktur sosial seperti apakah kita ini
sedang hidup?
Seorang sahabat sekaligus guru yang sering memberi inspirasi ke saya pernah
bertutur, dunia pencerahan baru kita temukan kalau kita mulai menemukan orang
Kristen di Masjid, saudara-saudara Muslim di Vihara, sahabat-sahabat beragama
Budha di Pura, atau penganut Hindu di Gereja. Tentu saja maksudnya bukan
kehadiran fisik. Namun kehadiran secara persahabatan. Terutama, persahabatan
dalam kedamaian dan kebahagiaan. Kalau masih kita merasakan permusuhan dan
perlombaan kebenaran di tempat ibadah, saya mau bertanya: masihkah kita layak
untuk berdoa dari tempat suci ini? Kembali ke soal awal tentang kendaraan menuju
kebahagiaan, bercermin dari ini semua, banyak orang menyimpulkan bahwa
perlombaan materi, maupun perlombaan kebenaran, bukanlah kendaraan yang tepat
dalam hal ini. Bahkan, telah terbukti menjerumuskan kemanusiaan ke dalam lembah
dalam dan mengerikan.
Lantas punyakah kita kendaraan alternatif?
Bercermin dari kehidupan mulia Dalai Lama, rupanya beliau telah lama tidak
menggunakan kendaraan sebagaimana disebutkan di atas. Dengan perjalanannya
keliling dunia, bertutur serta berceramah tentang perdamaian ke siapa saja yang
mau mendengarkan, bersahabat dengan musuh yang menganeksasi negerinya, ia
sedang menunjukkan ke kita tentang kendaraan beliau yang amat lain. Di sebuah
kesempatan ia pernah bertanya ke seorang rahib Budha yang baru saja keluar dari
penjara Cina selama puluhan tahun. Ketika ditanya, bahaya terbesar yang dihadapi
ketika rahib tadi berada di penjara, ia menjawab sederhana: kehilangan rasa
perdamaian dengan bangsa Cina. Anda bebas menyimpulkan semua pengalaman ini,
namun bagi saya ia memberi inspirasi tentang kendaraan sebagai sarana menuju
kebahagiaan. Rupanya, kualitas rangkulan kita bersama kehidupan dan orang lain,
bisa menjadi kendaraan menuju kebahagiaan, yang jauh lebih memadai
dibandingkan kendaraan manapun. Anda punya kendaraan lain?
Mengubah Cacian Jadi Kekaguman
MENJADI besar tanpa penderitaan sekaligus cacian orang, itulah kemauan banyak
sekali anak muda. Dan kalau memang kehidupan seperti itu ada, tentu ada terlalu
banyak manusia yang juga menginginkannya. Sayangnya wajah kehidupan seperti
ini tidak pernah ada. Sehingga jadilah cita-cita menjadi besar tanpa penderitaan
hanya sebagai khayalan manusia malas yang tidak pernah mencoba.
Ini serupa dengan khayalan seorang sahabat Amerika yang bertanya: kenapa Yesus
tidak lahir di Amerika di abad ke-21 ini? Rekan lainnya sesama Amerika menimpali
sambil bercanda: memangnya ada wanita Amerika yang masih perawan? Namanya
juga canda, tentu tidak disarankan untuk memikirkannya terlalu serius. Apalagi
tersinggung. Namun bercanda atau tidak, serius atau sangat serius, kisah-kisah
manusia kuat dan terhormat hampir semuanya berisi kisah-kisah penuh cacian
sekaligus penderitaan. Sebutlah deretan nama-nama mengagumkan seperti Nelson
Mandela, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai Lama. Semuanya dibikin kuat
sekaligus terhormat oleh penderitaan.
Mandela menjadi kuat dan terhormat karena puluhan tahun dipenjara, disakiti serta
diasingkan. Sekarang, ia tidak saja dihormati dan disegani namun juga menjadi
modal demokrasi yang mengagumkan bagi Afrika Selatan. Gandhi besar dan
menjulang karena terketuk amat dalam hatinya oleh kesedihan akibat diskriminasi
dan penjajahan. Dan yang lebih mengagumkan, tatkala perjuangannya berhasil, ia
menolak memetik buah kekuasaan dari hasil perjuangannya yang panjang, lama
sekaligus mengancam nyawa.
Dalai Lama apa lagi. Di umur belasan tahun kehilangan kebebasan. Menginjak umur
dua puluhan tahun kehilangan negara. Dan sampai sekarang sudah hidup di
pengungsian selama tidak kurang dari empat puluh lima tahun. Setiap hari menerima
surat sekaligus berita menyedihkan tentang Tibet. Lebih dari itu, negaranya Tibet
sampai sekarang kehilangan banyak sekali hal akibat masuknya pemerintah Cina.
Namun sebagaimana sudah dicatat rapi oleh sejarah, daftar-daftar kesedihan Dalai
Lama ini sudah berbuah teramat banyak. Menerima hadiah nobel perdamaian di
tahun 1989. Setiap kali berkunjung ke negara-negara maju disambut lebih meriah
dari penyanyi rock yang terkenal. Karya-karyanya mengubah kehidupan demikian
banyak orang. Sampai dengan julukan banyak sekali pengagumnya yang
menyimpulkan kalau Dalai Lama hanyalah seorang living Buddha.
Hal serupa juga terjadi dengan tokoh wanita mengagumkan bernama Evita Peron.
Belum berumur sepuluh tahun keluarganya berantakan karena ayahnya meninggal.
Kemudian menyambung kehidupan dengan cara menjadi pembantu rumah tangga.
Bosan jadi pembantu kemudian menjadi penyanyi bar. Dan bahkan sempat diisukan
miring dalam dunia serba gemerlap ini. Pernikahannya dengan Juan Peron tidak
mengakhiri penderitaan, malah menambah panjangnya aliran sungai air mata.
Namun kehidupan Evita Peron demikian bercahaya. Tidak saja di Argentina ia
bercahaya, di dunia ia juga bercahaya.
Salah satu guru meditasi mengagumkan di Amerika bernama Pema Chodron. Tidak
saja bahasanya sederhana, pengungkapan idenya juga mendalam. Namun
kekaguman seperti ini juga berawal dari kesedihan mendalam. Sebagaimana yang ia
tuturkan dalam When Things Fall Apart, perjalanan kejernihan Pema Chodron mulai
dengan sebuah kesedihan yang tidak terduga: suaminya mengaku jatuh cinta pada
wanita lain dan minta segera cerai. Bagi seorang wanita setia, tentu saja ini seperti petir di siang bolong. Namun betapa menyakitkan pun beritanya, hidup harus tetap
berjalan.
Dari sinilah ia belajar meditasi dari Chogyam Trungpa. Dan ini juga yang
membukakan pintu kehidupan yang mengagumkan belakangan. Sehingga di salah
satu bagian buku tadi, Chodron secara jujur mengungkapkan kalau mantan
suaminya yang di awal seperti mencampakkan hidupnya, ternyata seorang pembuka
pintu kehidupan yang mengagumkan.
Cerita Thich Nhat Hanh lain lagi. Tokoh perdamaian asli Vietnam ini mengalami
banyak sekali pengalaman getir ketika perang Vietnam. Kalau soal hampir mati, atau
hampir diterjang peluru panas sudah biasa. Namun tatkala membawa misi
perdamaian ke Amerika, ternyata pemerintah Vietnam melarangnya kembali ke
Vietnam. Dan sejak puluhan tahun yang lalu Thich Nhat Hanh bermukim di Prancis.
Dan penderitaan serta kesedihan-kesedihan yang mendalam ini juga yang membuat
nama Hanh demikian dikenal dan menjulang. Pernah dinominasikan sebagai
pemenang hadiah Nobel perdamaian, dihormati di banyak sekali negara, dan karyakaryanya
lebih dari sekadar mengagumkan.
Daftar panjang tokoh-tokoh kuat sekaligus terhormat, yang dibuat besar oleh
penderitaan dan cacian orang masih bisa diperpanjang. Namun semua ini sedang
membukakan pintu kehidupan yang amat berguna: penderitaan dan cacian orang
ternyata sejenis vitamin jiwa yang membuatnya jadi menyala. Ini mirip sekali dengan
judul sebuah buku indah yang berbunyi: Pain, the Gift that Nobody Want. Rasa sakit,
penderitaan, cacian orang hampir semua manusia tidak menghendakinya. Tidak saja
lari jauh-jauh, bahkan sebagian lebih doa manusia memohon agar dijauhkan dari
penderitaan, cacian sekaligus rasa sakit.
Namun daftar panjang kisah manusia seperti Dalai Lama, Pema Chodron sampai
dengan Thich Nhat Hanh ternyata bertutur berbeda. Hanya manusia-manusia yang
penuh kesabaran dan ketabahan untuk tersenyum di tengah cacian dan penderitaan,
kemudian jiwanya menyala menerangi kehidupan banyak sekali orang.
Ternyata, penderitaan dan cacian orang – di tangan manusia-manusia sabar dan
tabah – bisa menjadi bahan-bahan yang memproduksi kekaguman orang kemudian.
Persoalannya kemudian, di tengah-tengah sebagian lebih wajah kehidupan yang
serba instant, punyakah kita cukup banyak kesabaran dan ketabahan?
Kekayaan Manusia Yang Terbesar
SEORANG sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor,
pulang malam dalam kelelahan, serta amat jarang bisa merasakan sinar matahari di
kulit, kemudian bertanya: untuk apa hidup ini? Ada juga orang tua yang sudah benarbenar
lelah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang tua, dewasa mengungsi ke
lembaga pernikahan, tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya serupa.
Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam.
Ada
yang mencari kekayaan, ada yang mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan
kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual sampai
mengorbankan hampir segala-galanya. Dan tentu saja sudah menjadi hak masingmasing
orang untuk memilih jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau
berlari memburu kekayaan (luar maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai,
pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan tukang sapu, tidak
sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian
bahkan mengambil jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti.
Terutama dengan kaya materi manusia bisa melakukan lebih banyak hal. Dengan
kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan
soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia
memang amat melimpah. Dari jualan asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan,
jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang orang
bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan: contentment is the greatest
wealth.
Tentu agak unik kedengarannya. Terutama di zaman yang serba penuh dengan
hiruk pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar,
tentu bisa dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai
antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang untuk berpikir seperti ini. Cuma, bagi
setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur
"cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang
terbesar. Bukan merasa cukup kemudian berhenti berusaha dan bekerja.
Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui
hukum-hukum kerja. Sekaligus memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan
lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya dengan
rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk
dengan perasaan cukup. Tugasnya berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun
rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi perjalanan
kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga
serta teman. Dengan semua perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika
rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian manusia menemukan
banyak kawan, di hutan yang paling sepi sekalipun ia menemukan banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih
sekadar memaksa diri agar damai. Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan.
Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, manusia seperti terlempar
dengan nyaman ke sarang laba-laba kehidupan.
Di mana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari,
dll) serba terhubung, sekaligus menyediakan rasa aman nyaman di sebuah titik
pusat. Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencarian
kekayaan ke luar yang tidak mengenal rasa cukup, mudah sekali membuat manusia
terguncang menakutkan di pinggir roda. Namun di titik pusat, tidak ada putaran.
Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi
yang belum pernah mencoba, apa lagi diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati,
hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan.
Hanya keberanian untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan
orang-orang yang mampu mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta
rasa cukup di lain sisi.
Bila orang-orang seperti ini berjalan lebih jauh lagi di jalan yang sama, akan datang
suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun pintar
mengagumkan di dalam.
Biasa tampak luarnya, namun luar biasa pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi,
karena rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan
akan penilaian orang lain. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus
bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam
novel indahnya berjudul 'pergi ke mana hati membawamu' ia kurang lebih menulis:
kata-kata ibarat sapu.
Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun debu terbang ke mana-mana.
Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata
lain, pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya
menjernihkan sebagian, sekaligus memperkotor di bagian lain (seperti sapu).
Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih tanpa
menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu
karyanya yang mengagumkan (Shambala, The sacred path of the warrior), ia
menulis: this basic wisdom of Shambala is that in this world, as it is, we can find a good and
meaningful human life that will also serve others. That is our richness. Itulah kekayaan yang
mengagumkan, bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang
seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna sekaligus pelayanan
bermakna buat pihak lain. ***
Hadiah Terbaik Untuk Diri Sendiri
Setiap orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan. Ada masa sulit
dalam berumah tangga, kehidupan karir, kesehatan, atau kehidupan pribadi yang
diguncang badai. Kebanyakan juga setuju kalau masa-masa sulit ini bukanlah
keadaan yang diinginkan. Sebagian orang bahkan berdoa, agar sejarang mungkin
digoda oleh keadaan-keadaan sulit. Sebagian lagi yang dihinggapi oleh kemewahan
hidup ala anak-anak kecil, mau membuang jauh-jauh, atau lari sekencangkencangnya
dari godaan hidup sulit.
Akan tetapi, sekencang apapun kita menjauh dari kesulitan, ia tetap akan menyentuh
badan dan jiwa ini di waktu-waktu ketika ia harus datang berkunjung. Rumus besi
kehidupan seperti ini, memang berlaku pada semua manusia, bahkan juga berlaku
untuk seorang raja dan penguasa yang paling berkuasa sekalipun.
Sadar akan hal inilah, saya sering mendidik diri untuk ikhlas ketika kesulitan datang
berkunjung. Syukur-syukur bisa tersenyum memeluk kesulitan. Tidak dibuat sakit
dan frustrasi saja saya sudah sangat bersyukur. Pelukan-pelukan kebijakan seperti
inilah yang datang ketika sang hidup sempat membanting saya dari sebuah
ketinggian. Sakit memang, tapi karena ia sudah saatnya datang berkunjung, dan kita
tidak punya pilihan lain terkecuali membukakan pintu rumah kehidupan, maka
seterpaksa apapun hanya keikhlasanlah satu-satunya modal berguna dalam hal ini.
Senyum penerimaan terhadap kesulitan memang terasa kecut di bibir. Dan
sebagaimana logam yang sedang dibuat menjadi patung indah, kesulitan memang
terasa seperti semprotan panasnya api mesin las, dihajar oleh palu besar,
kencangnya cubitan tang, menyakitkannya goresan-goresan amplas kasar, atau
malah tidak enaknya bau cat yang menyelimuti selu! ruh badan patung logam.
Semua tahu, kalau badan dan jiwa ini kemudian akan menjadi 'patung logam' yang
lebih indah dari sebelumnya. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa ketakutan - dan bahkan
mungkin trauma - yang membuat kita manusia menghindar dari kesulitan.
Cuma selebar apapun goresan luka yang dibuat oleh kesulitan, ada mahluk yang
amat berguna dan amat dibutuhkan dalam pengalaman-pengalaman menyakitkan ini,
ia bernama sahabat. Tidak semua sahabat fasih memberikan nasehat. Tetapi
dengan kesediaannya untuk mendengar, sinaran mata yang berisi empati, kesediaan
untuk menjaga rahasia, sahabat menjadi permata berlian yang amat berguna dalam
keadaan-keadaan ini.
Di rumah saya memiliki seorang sahabat yang amat mengagumkan. Dari segi
pendidikan formal ia hanya tamatan SMU. Bahkan SMU tempat ia bersekolah dulu
sudah bubar, sebagai tanda ia bukanlah berasal dari sekolah yang terlalu
membanggakan. Namun nasehat serta keteladanan hidupnya kadang
mengagumkan.
Di kantor saya memiliki sejumlah bawahan yang datang sama manisnya baik ketika
dipuji maupun setelah di! maki. Seorang tetangga menelpon, mengirim SMS dan
bahkan menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Tidak untuk memberikan ceramah,
hanya untuk mendengar. Seorang sahabat dekat yang memimpin sebuah raksasa
teknologi informasi bahkan mengatakan bangga menjadi sahabat saya.
Ketika tulisan ini dibuat, seorang sahabat lama yang tinggal di Surabaya menelepon,
tanpa bermaksud menggurui ia mengutip kata-kata indah Confucius 'Manusia salah
itu biasa, tetapi menarik pelajaran dari kesalahan itu baru luar biasa'.
Apa yang mau saya tuturkan dengan semua ini, rupanya sahabat adalah hadiah
paling berharga yang bisa kita berikan pada diri kita sendiri. Secara lebih khusus
ketika kita ditimpa kesulitan yang menggunung. Sehingga patut direnungkan, kalau
kita perlu menabung perhatian, empati, cinta buat para sahabat. Tidak untuk
berdagang dengan kehidupan. Dalam arti, memberi dengan harapan agar diberi
kelak. Melainkan, sebagaimana cerita dan pengalaman di atas, dalam dunia
persahabatan, dalam memberi kita sebenarnya sudah diberi. Bahkan, setiap sahabat
yang memberi perhatian dan empati pada sahabat lainnya, ketika itu juga mengalami
the joy of giving. Ketika itu juga seperti ada beban di bahu yang berkurang jauh
beratnya.
Ada memang orang yang memiliki banyak sekali teman. Kemana-mana namanya
dipanggil orang. Cuman, sedikit diantara semua teman yang banyak ini kemudian
bisa menjadi sahabat. Bercermin dari kenyataan inilah, maka saya lebih
memusatkan diri untuk mencari dan membina sahabat.
Jumlahnya memang tidak akan pernah banyak. Bahkan ia lebih sedikit dari jumlah
jari tangan. Cuma sesedikit apapun jumlahnya, sahabat tetap sejenis hadiah terbaik
yang bisa kita bisa berikan buat diri sendiri.
Mobil mewah memang bisa membawa kita ke tempat jauh lengkap dengan
gengsinya. Rumah mewah memang bisa meningkatkan kenyamanan tinggal
sekaligus meningkatkan kelas. Ijazah lengkap dengan gelarnya yang mentereng juga
bisa meningkatkan percaya diri. Akan tetapi, baik mobil mewah, rumah mewah
maupun ijazah tidak bisa menghadirkan empati yang menyentuh hati
Di sebuah Sabtu pagi, seorang sahabat yang membaca harian Kompas yang
memberitakan bahwa saya mengundurkan diri dari jabatan presiden direktur di
sebuah kelompok usaha amat besar di negeri ini, langsung menelepon saya dari
tempat yang jauh. Ia berucap sederhana: 'saya bangga jadi teman Anda'. Inilah
hadiah terbaik yang bisa dihadiahkan ke diri sendiri. Ia tidak dibungkus kado, ia juga
tidak hanya datang ketika hari raya atau ulang tahun. Ia justru lebih sering datang
ketika kita amat membutuhkannya.
Tindakan Kecil Tidak Dikenal
Di kota Liverpool Inggris, tempat John Lennon melahirkan kelompok musik yang
pernah merubah sejarah dunia, saya pernah mengalami sebuah pengalaman
kemanusiaan yang amat menyentuh. Setelah antre cukup lama di kantor imigrasi,
guna memperpanjang visa isteri saya, lebih-lebih setelah mendengar orang di
antrean depan ditanya dan dimaki sana-sini, hati ini sempat kecut juga. Belum lagi
ditambah dengan stok tiket return yang batasnya hari itu juga. Plus tidak ada uang
untuk menyewa hotel kalau terpaksa menginap. Begitu cekaknya keuangan,
bekalpun membawa dari kota Lancaster yang berjarak sekitar empat jam perjalanan
kereta api.
Sesampai di depan petugas, saya terangkan maksud kedatangan saya. Ketika
petugas tahu, bahwa visa yang mau diperpanjang adalah visa isteri, ia bertanya
apakah saya membawa akte pernikahan. Busyet, saya lupa membawanya. Kalaupun
saya bawa, pasti ia tidak mengerti karena dalam bahasa melayu.
Saya sudah siap-siap mental dimaki sebagaimana orang Pakistan di depan, atau
disuruh kembali lain waktu. Tiba-tiba saja saya ingat lagu John Lennon yang berjudul
Imagine, yang bertutur mengenai mimpi John tentang kehidupan manusia yang
tanpa agama, bangsa dan atribut lain yang memisahkan.
Di tengah lamunan akan John Lennon tadi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suara
petugas imigrasi yang menemukan kata Bali sebagai tempat lahir isteri saya di
pasport. Dengan ekspresi yang amat bersahabat ia bertanya, di bagian mana dari
Bali ia lahir, apakah kami sekeluarga senang tinggal di Inggris, dan sederetan
pertanyaan yang sangat menghibur.
Ketika saya tanya balik, kenapa ia demikian bersahabat setelah tahu kami dari Bali,
petugas tadi menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah ditolong orang Bali,
ketika mengalami kecelakaan saat berwisata di pulau dewata ini. Singkat cerita,
semua urusan menjadi beres hanya karena ada kata Bali di pasport.
Mirip dengan pengalaman di Liverpool, di Manchester saya juga pernah
diselamatkan nasib baik. Setelah menempuh penerbangan dari Paris yang
melelahkan, saya ikuti saja antrean manusia yang ada di depan guna diperiksa
imigrasi. Setelah pegal berdiri setengah jam, dan akan memperoleh giliran bertatap
muka dengan petugas imigrasi, baru saya tahu walau saya antre di tempat yang
keliru. Sebagai warga Indonesia, saya antre di tempat yang ditujukan untuk warga
masyarakat Eropa.
Padahal, pesawat berikut ke tempat lain mesti take off kurang dari sejam lagi.
Saya sudah pasrah, what will be, will be. Pertama-tama, tentu saja petugasnya
cemberut melihat tampang saya. Lebih-lebih setelah melihat passport yang berisi
gambar burung garuda. Namun, karena kesabaran petugas, dibuka juga itu passport
sambil bertanya, di mana saya tinggal selama di Inggris. Setelah saya jawab dengan
sebutan desa Galgate di pinggiran kota kecil Lancaster, tiba-tiba wanita di depan
saya wajahnya sumringah. Dengan akrab dia bercerita tempat lahirnya.
Penduduk desa kecil yang amat bersahabat. Buah apel yang bisa dipetik siapa saja
oleh penduduk desa Galgate. Orang-orang tua jompo yang penuh senyum dan
persahabatan tanpa pamrih dan masih banyak lagi yang lain. Dan, tiba-tiba saja petugas imigrasi ini minta saya menunggu sebentar, sementara ia pergi membawa
passport saya ke counter lain.
Tidak lebih dari tiga menit, ia sudah mengembalikan passport saya lengkap dengan
stempel imigrasi. Sambil berpesan: sampaikan salam kangen saya buat penduduk
desa Galgate.
Boleh percaya boleh tidak, saya mengalami kejadian-kejadian seperti ini, dalam
frekuensi yang cukup sering. Sejumlah rekan Tionghoa yang mengerti petunjuk hoki,
menyebut saya manusia hoki karena bentuk hidung, telinga dan dagu yang cocok
dengan ciri-ciri hoki. Sebagai manusia biasa, saya memang memiliki banyak
kekurangan. Disebut sering suka cerita yang porno dan jorok. Suka 'ngompol'
(ngomong politik).
Berteriak kalau lagi marah besar di rumah. Wika, Adi dan Suci adalah manusiamanusia
yang paling tahu daftar kekurangan saya. Akan tetapi, sejak umur yang
sangat kecil, saya dibiasakan oleh seorang kakak, untuk mengumpulkan daftar
tindakan-tindakan kecil yang tidak bernama.
Tidak dikenal. Tidak dihitung. Namun, berguna buat alam dan orang lain.
Bukan pada tempatnya, kalau saya membeberkan daftar tindakan-tindakan saya di
kolom ini. Yang jelas, ada semacam kesegaran dalam jiwa, sesaat setelah
melakukan tindakan-tindakan tidak dikenal dan tidak bernama. Kepala yang pusing,
tiba-tiba jadi membaik. Kantong cekak yang membuat dahi berkerut, berubah
menjadi ucapan terimakasih ke Tuhan. Isteri yang tadinya kelihatan seram jadi
lembut dan cantik.
Banyak hal bisa berubah setelah melakukan tindakan-tindakan model terakhir.
Saya tidak tahu, apa ini sebuah sugesti, atau ada tangan-tangan kekuatan alam
yang membuatnya demikian. Yang jelas, alam bisa demikian perkasa dan bertahan
lama, karena bergerak dalam siklus memberi, memberi dan memberi. Rumput hijau
memberi kesejukan. Matahari membawa energi. Air menghadirkan kehidupan.
Adakah mereka membutuhkan imbalan lebih?
Belajar dari ini semua, saya berusaha untuk mematikan keran di tempat umum yang
lupa ditutup orang lain. Membukakan pintu ke orang lain yang tidak dikenal di lokasilokasi
publik. Mengembalikan posisi pohon yang roboh. Mengubur kucing yang mati
digilas mobil orang.
Terbang Bersama Keheningan
BERAT, itulah kata yang bisa mewakili tantangan hidup kekinian. Orang miskin
dihadang penyakit di sana-sini. Orang kaya alisnya dibikin berkerut oleh berbagai
masalah. Sebagian malah sudah dipenjara, sebagian lagi menuggu giliran untuk
beristirahat di tempat yang sama. Manusia biasa menggendong berbagai beban ke
sana ke mari (dari mencari nafkah, menyekolahkan anak sampai dengan
mempersiapkan hari tua), pejabat maupun pengusaha juga serupa: senantiasa
ditemani masalah kemanapun ia pergi. Di desa banyak orang mengeluh, luas tanah
tetap namun jumlah manusia senantiasa tambah banyak. Sehingga setiap tahun
memunculkan tantangan penciptaan lapangan kerja. Bila tidak terselesaikan ia bisa
lari kemana-mana. Dari kejahatan sampai dengan kekerasan.
Digabung menjadi satu, jadilah kehidupan berwajah serba berat di sana-sini. Tidak
saja di negara berkembang, di negara maju sekali pun tantangannya serupa.
Kemajuan ekonomi Jepang yang demikian fantastis tidak bisa mengerem angka
bunuh diri. Kemajuan peradaban Amerika tidak membuat negara ini berhenti menjadi
konsumen obat tidur per kapita paling tinggi di dunia. Jangankan berbicara negeri
Afrika seperti Botswana. Rata-rata harapan hidup hanya 30-an tahun. Orang dewasa
di sana lebih dari 80 persen positif terjangkit HIV. Sehingga menimbulkan pertanyaan,
"Demikian beratkah beban manusia untuk hidup?"
Ada sahabat yang menghubungkan beratnya hidup manusia dengan hukum
gravitasinya Newton yang berpengaruh itu. Sudah menjadi pengetahuan publik,
kalau Newton menemukan hukum ini ketika duduk di bawah pohon apel, dan tibatiba
buahnya jatuh.
Sehingga Newton muda berspekulasi ketika itu, ada serangkaian hukum berat (baca:
gravitasi) yang membuat semua benda jatuh ke bawah. Sahabat ini bertanya lebih
dalam, "kalau gravitasi yang menarik apel jatuh ke bawah, lantas hukum apa yang
membawanya naik ke puncak pohon apel?" Dengan jernih ia menyebut "The law of
levitation" (hukum penguapan). Kalau gravitasi menarik apel ke bawah, penguapan
menariknya ke arah atas.
Dalam bahasa yang lugas sekaligus cerdas, sahabat ini mengaitkan kedua hukum
fisika ini ke dalam dua hukum kehidupan: "Hate is under the law of gravity, love is
under the law of levitation." Kebencian berkait erat dengan gravitasi karena mudah
sekali membuat manusia hidup serba berat dan ditarik ke bawah. Cinta berkaitan
dengan gerakan-gerakan ke atas. Karena hanya cinta yang membuat manusia
ringan dan terbang ke atas. Sungguh sebuah bahan renungan kehidupan yang
cerdas dan bernas.
Kembali ke soal hidup manusia yang serba berat, tidak ada manusia yang bebas
sepenuhnya dari masalah. Bahkan ada yang menyederhanakan kehidupan dengan
sebuah kata: penderitaan! Hanya saja kebencian berlebihan yang membuat semua
ini menjadi semakin berat dan semakin berat lagi. Ada yang benci pada diri sendiri,
ada yang membenci orang tua, suami, istri, teman, tetangga, atasan kerja, sampai
dengan ada yang membenci Tuhan.
Perhatikan wajah-wajah manusia kekinian yang miskin senyum, yang mudah
tersinggung, yang senantiasa minta diperhatikan, penerimaan bulanan yang serba
kurang, dan masih bisa ditambah lagi dengan yang lain. Semuanya berakar pada
yang satu: kebencian! Sehingga mudah dimengerti kalau perjalanan hidup seperti
buah apel, semakin tua semakin berat dan semakin ditarik ke bawah.
Terinspirasi dari sinilah, kemudian sejumlah guru mengurangi sesedikit mungkin
berjalan dalam hidup dengan beban-beban kebencian. Dan mencoba menarik
kehidupan ke atas menggunakan sayap-sayap cinta. Semua perjalanan cinta mulai
dari sini: mencintai kehidupan. Makanya sahabat-sahabat penekun meditasi
Vipasana berkonsentrasi pada keluar masuknya nafas. Tidak saja karena membuat
manusia mudah terhubung dengan hidup, tetapi berpelukan penuh cinta dengan
kehidupan. Dan segelintir penekun Vipasana yang telah berjalan amat jauh,
kemudian mengalami cosmic orgasm. Semacam orgasme kosmik yang ditandai oleh
terlihatnya keindahan di mana-mana. Karena semuanya terlihat serba indah, tidak
ada lagi dorongan untuk mencari jawaban. Bahkan pertanyaan sekalipun sudah
lenyap dari kepala. Ini yang disebut seorang guru dengan terbang bersama
keheningan.
Ada yang menyebut ini dengan emptiness. Sebuah terminologi timur yang amat
susah untuk dijelaskan dengan kata-kata manusia. Namun Dainin Katagiri dalam
Returning to Silence, menyebutkan: "The final goal is that we should not be
obsessed with the result, whether good, bad or neutral." Keseluruhan upaya untuk
tidak terikat dengan hasil. Itulah keheningan. Sehingga yang tersisa persis seperti
hukum alam: kerja, kerja dan kerja. Dalam kerja seperti ini, manusia seperti matahari.
Ditunggu tidak ditunggu, besok pagi ia terbit. Ada awan tidak ada awan, matahari
tetap bersinar. Disukai atau dibenci, sore hari dimana pun ia akan terbenam.
Mirip dengan matahari yang tugasnya berbeda dengan awan dan bintang. Kita
manusia juga serupa. Pengusaha bekerja di perusahaan. Penguasa bekerja di
pemerintahan. Pekerja bekerja di tempat masing-masing. Penulis menulis. Pertapa
bertapa. Pencinta yoga beryoga. Pengagum meditasi bermeditasi. Semuanya ada
tempatnya masing-masing. Ada satu hal yang sama di antara mereka: "Menjadi
semakin sempurna di jalan kerja". Soal hasil, sudah ada kekuatan amat sempurna
yang sudah mengaturnya. Keinginan apalagi kebencian, hanya akan membuatnya
jadi berat dan terlempar ke bawah.
Merendah Itu Indah
Di satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk
memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan sudah
teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga
maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan
orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci. Di
neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi
lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh
lebih dipenuhi hiburan dibandingkan surga.
Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk
tinggal di neraka saja. Esok harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka.
Ada orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya.
Maka proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang
petugas terakhir menjawab: 'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu".
Dengan jengkel turis tadi bergumam: 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya,
Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya
lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan (trust) telah menjadi
komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini. Dan
sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu
mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan
tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak
ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu
mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang
demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang
mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi krisis
perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal :
trust capital.
Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus
ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan tidak percaya pada Bambang.
Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah
lingkaranketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan
seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah
diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila saja. Kita semua sedang
memproduksi diri seperti itu.
Andaikan di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh
ternyata di depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya :
tetangga depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimanakah reaksi
Anda? Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan
jawabannyapun amat beragam.
Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya
', menempatkan tahi sapi tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin
peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang melengkapi
diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya dari
segi baiknya' menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan
rumah. Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi sebagai kotoran
yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif
dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian
persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa
lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan
berkuasa dalam pikiran kita.
Cerita tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi lain,
setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan
pikiran sayapun tidak seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul
di luar kesadaran.
Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan sepeda motor
yang stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki,
stang-nya hanya akan melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama
bekerja di perusahaan yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat
wajah pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut
sebagai pengkondisian yang mematikan.
Peperangan melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang paling
menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda,
namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya
untuk merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air
sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian, karena laut berani
merendah.
Demikian juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya
telah mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan
ukurannya, saya memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya,
Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua ini saya
peroleh, lebih banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak- injak orang.
Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan
kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang
pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site saya mengutip Rabin
Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***
Kaya Karena Sederhana
Menjadi orang kaya, itulah cita-cita banyak sekali orang. Hal yang sama juga pernah
melanda saya. Dulu, ketika masih duduk di bangku SMU, kemudian menyaksikan
ada rumah indah dan besar, dan di depannya duduk sepasang orang tua lagi
menikmati keindahan rumahnya, sering saya bertanya ke diri sendiri : akankah saya
bisa sampai di sana?. Sekian tahun setelah semua ini berlalu, setelah berkenalan
dengan beberapa orang pengusaha yang kekayaan perusahaannya bernilai triliunan
rupiah, duduk di kursi tertinggi perusahaan, atau menjadi penasehat tidak sedikit
orang kaya, wajah-wajah hidup yang kaya sudah tidak semenarik dan seseksi
bayangan dulu.
Penyelaman saya secara lebih mendalam bahkan menghasilkan sejumlah ketakutan
untuk menjadi kaya. Ada orang kaya yang memiliki putera-puteri yang bermata
kosong melompong sebagai tanda hidup yang kering. Ada pengusaha yang menatap
semua orang baru dengan tatapan curiga karena sering ditipu orang, untuk
kemudian sedikit-sedikit marah dan memaki. Ada sahabat yang berganti mobil
termewah dalam ukuran bulanan, namun harus meminum pil tidur kalau ingin tidur
nyenyak. Ada yang memiliki anak tanpa Ibu karena bercerai, dan masih banyak lagi
wajah-wajah kekayaan yang membuat saya jadi takut pada kekayaan materi.
Dalam tataran pencaharian seperti ini, tiba-tiba saja saya membaca karya Shakti
Gawain dalam jurnal Personal Excellence edisi September 2001 yang menulis : ?If
we have too many things we dont truly need or want, our live become overly
complicated?. Siapa saja yang memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul
dibutuhkan, kehidupannya akan berwajah sangat rumit dan kompleks.
Rupanya saya tidak sendiri dalam hal ketakutan bertemu hidup yang amat rumit
karena memiliki terlalu banyak hal yang tidak betul-betul diperlukan. Shakti Gawain
juga serupa. Lebih dari sekadar takut, di tingkatan materi yang amat berlebihan,
ketakutan, kecemasan, dan bahkan keterikatan berlebihan mulai muncul.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana tidur saya amat terganggu di hari pertama
ketika baru bisa membeli mobil. Sebentar-sebentar bangun sambil melihat garasi.
Demikian juga ketika baru duduk di kursi orang nomer satu di perusahaan.
Keterikatan agar duduk di sana selamanya membuat saya hampir jadi paranoid.
Setiap orang datang dipandang oleh mata secara mencurigakan. Benang merahnya,
kekayaan materi memang menghadirkan kegembiraan (kendati hanya sesaat),
namun sulit diingkari kalau ia juga menghadirkan keterikatan, ketakutan dan
kekhawatiran. Kemerdekaan, kebebasan, keheningan semuanya diperkosa habis
oleh kekayaan materi.
Disamping merampok kebebasan dan keheningan, kekayaan materi juga
menghasilkan harapan-harapan baru yang bergerak maju. Lebih tinggi, lebih tinggi
dan lebih tinggi lagi. Demikianlah kekayaan dengan amat rajin mendorong manusia
untuk memproduksi harapan yang lebih tinggi. Tidak ada yang salah dengan memiliki
harapan yang lebih tinggi, sejauh seseorang bisa menyeimbangkannya dengan rasa
syukur. Apa lagi kalau harapan bisa mendorong orang bekerja amat keras, plus
keikhlasan untuk bersyukur pada sang hidup. Celakanya, dalam banyak hal terjadi,
harapan ini terbang dan berlari liar. Dan kemudian membuat kehidupan berlari
seperti kucing yang mengejar ekornya sendiri.
Berefleksi dan bercermin dari sinilah, saya sudah teramat lama meninggalkan
kehidupan yang demikian ngotot mengejar kekayaan materi. Demikian tidak
ngototnya, sampai-sampai ada rekan yang menyebut saya bodoh, tidak mengerti
bisnis, malah ada yang menyebut teramat lugu. Untungnya, badan kehidupan saya
sudah demikian licin oleh sebutan-sebutan. Sehingga setiap sebutan, lewat saja
tanpa memberikan bekas yang berarti.
Ada sahabat yang bertanya, bagaimana saya bisa sampai di sana ? Entah benar
entah tidak, dalam banyak keadaan terbukti kalau saya bisa berada di waktu yang
tepat, tempat yang tepat, dengan kemampuan yang tepat. Ketika ada perusahaan
yang membutuhkan seseorang sebagai pemimpin yang cinta kedamaian, saya ada
di sana. Tatkala banyak perusahaan kehilangan orientasi untuk kemudian mencari
bahasa-bahasa hati, pada saat yang sama saya suka sekali berbicara dan menulis
dengan bahasa-bahasa hati. Dikala sejumlah kalangan di pemerintahan mencari-cari
orang muda yang siap untuk diajak bekerja dengan kejujuran, mereka mengenal dan
mengingat nama saya. Sebagai akibatnya, terbanglah kehidupan saya dengan
tenang dan ringan. Herannya, bisa sampai di situ dengan energi kengototan yang di
bawah rata-rata kebanyakan orang. Mungkin tepat apa yang pernah ditulis Rabin
Dranath Tagore dalam The Heart of God : ?let this be my last word, that I trust in
Your Love?. Keyakinan dan keikhlasan di depan Tuhan, mungkin itu yang menjadi
kendaraan kehidupan yang paling banyak membantu hidup saya.
Karena keyakinan seperti inilah, maka dalam setiap doa saya senantiasa memohon
agar seluruh permohonan saya dalam doa diganti dengan keikhlasan, keikhlasan
dan hanya keikhlasan. Tidak hanya dalam doa, dalam keseharian hidup juga
demikian. Ada yang mau menggeser dan memberhentikan, saya tidak melawan. Ada
yang mengancam dengan kata-kata kasar, saya imbangi secukupnya saja. Ada
sahabat yang menyebut kehidupan demikian sebagai kehidupan yang terlalu
sederhana dan jauh dari kerumitan. Namun saya meyakini, dengan cara demikian
kita bisa kaya dengan jalan sederhana.
Indikator Kebahagiaan Dunia
Ibnu Abbas ra. adalah salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun Ibnu Abbas telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di masjid. Suatu hari ia ditanya oleh para Tabi’in (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan dunia. Jawab Ibnu Abbas ada 7 (tujuh) indikator kebahagiaan dunia, yaitu :
Pertama, Hati yang Selalu Bersyukur
Memiliki jiwa syukur berarti selalu menerima apa adanya (qona’ah), sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : “Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita”. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap “bandel” dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!
Kedua, Pasangan Hidup yang Sholeh
Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholehah, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholehah.
Ketiga, Anak yang Soleh
Saat Rasulullah SAW lagi thawaf. Rasulullah SAW bertemu dengan seorang anak muda yang pundaknya lecet-lecet. Setelah selesai thawaf Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu : “Kenapa pundakmu itu ?” Jawab anak muda itu : “Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintai dia dan saya tidak pernah melepaskan dia. Saya melepaskan ibu saya hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya”. Lalu anak muda itu bertanya: ” Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk kedalam orang yang sudah berbakti kepada orang tua ?” Nabi SAW sambil memeluk anak muda itu dan mengatakan: “Sungguh Allah ridho kepadamu, kamu anak yang soleh, anak yang berbakti, tapi anakku ketahuilah, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu”. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita, namun minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana doa anak yang sholeh kepada orang tuanya dijamin dikabulkan Allah. Berbahagialah kita bila memiliki anak yang sholeh
Keempat, Lingkungan yang Kondusif untuk Iman Kita.
Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. Insya Allah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.
Kelima, Harta yang Halal.
Paradigma dalam Islam mengenai harta bukanlah banyaknya harta tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam tidak menyuruh umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. “Kamu berdoa sudah bagus”, kata Nabi SAW, “Namun sayang makanan, minuman dan pakaian dan tempat tinggalnya didapat secara haram, bagaimana doanya dikabulkan”. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Maka berbahagialah orang-orang yang selalu dengan teliti menjaga kehalalan hartanya.
Keenam, Semangat untuk Memahami Agama.
Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu-ilmu agama Islam. Semakin ia belajar, maka semakin ia terangsang untuk mempelajari lebih jauh lagi ilmu mengenai sifat-sifat Allah dan ciptaan-Nya. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cinta ia kepada agamanya, semakin tinggi cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan meng ”hidup” kan hatinya, hati yang “hidup” adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya nikmat Islam dan nikmat iman. Maka berbahagialah orang yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.
Ketujuh, Umur yang Baroqah.
Umur yang baroqah itu artinya umur yang semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia (berangan-angan) tentang masa mudanya, iapun cenderung kecewa dengan ketuaannya (post-power syndrome). Disamping itu pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya, maka iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum ia sempat rasakan, hatinya kecewa bila ia tidak mampu menikmati kenikmatan yang diangankannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhirat (melalui amal ibadah) maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Penciptanya. Hari tuanya diisi dengan bermesraan dengan Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam kehidupan berikutnya seperti yang dijanjikan Allah. Inilah semangat “hidup” orang-orang yang baroqah umurnya, maka berbahagialah orang-orang yang umurnya baroqah.
Demikianlah pesan-pesan dari Ibnu Abbas ra. mengenai 7 indikator kebahagiaan dunia.
Bagaimana caranya agar kita dikaruniakan Allah ke tujuh buah indikator kebahagiaan dunia tersebut ?
Selain usaha keras kita untuk memperbaiki diri, maka mohonlah kepada Allah SWT dengan sesering dan se-khusyu’ mungkin membaca doa ‘sapu jagat’, yaitu doa yang paling sering dibaca oleh Rasulullah SAW. Dimana baris pertama doa tersebut “Rabbanaa aatina fid dun-yaa hasanah” (yang artinya “Ya Allah karuniakanlah aku kebahagiaan dunia ”), mempunyai makna bahwa kita sedang meminta kepada Allah ke tujuh indikator kebahagiaan dunia yang disebutkan Ibnu Abbas ra, yaitu hati yang selalu syukur, pasangan hidup yang soleh, anak yang soleh, teman-teman atau lingkungan yang soleh, harta yang halal, semangat untuk memahami ajaran agama, dan umur yang baroqah.
Sedangkan mengenai kelanjutan doa sapu jagat tersebut yaitu “wa fil aakhirati hasanah” (yang artinya “dan juga kebahagiaan akhirat”), untuk memperolehnya hanyalah dengan rahmat Allah. Kebahagiaan akhirat itu bukan surga tetapi rahmat Allah, kasih sayang Allah. Surga itu hanyalah sebagian kecil dari rahmat Allah, kita masuk surga bukan karena amal soleh kita (tanpa menafikan peran amal sholeh), tetapi karena rahmat Allah…., oleh karena itu beramallah sebanyak mungkin agar kita termasuk orang-orang yg dirahmati Allah…, amin.
Amal soleh yang kita lakukan sepanjang hidup kita (walau setiap hari puasa dan sholat malam) tidaklah cukup untuk mendapatkan tiket masuk surga. Amal soleh sesempurna apapun yang kita lakukan seumur hidup kita tidaklah sebanding dengan nikmat surga yang dijanjikan Allah.
Nabi SAW bersabda,
“Amal soleh yang kalian lakukan tidak bisa memasukkan kalian ke surga”. Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana dengan Engkau ya Rasulullah ?”. Jawab Rasulullah SAW : “Amal soleh saya pun juga tidak cukup”. Lalu para sahabat kembali bertanya : “Kalau begitu dengan apa kita masuk surga?”. Nabi SAW kembali menjawab : “Kita dapat masuk surga hanya karena rahmat dan kebaikan Allah semata”.
Jadi sholat kita, puasa kita, taqarub kita kepada Allah sebenarnya bukan untuk surga tetapi untuk mendapatkan rahmat Allah. Dengan rahmat Allah itulah kita mendapatkan surga Allah..
Sungai di Laut
Pada suatu hari ketika sedang melakukan eksplorasi di bawah laut, tiba-tiba ia menemui beberapa kumpulan mata air tawar-segar yang sangat sedap rasanya kerana tidak bercampur/tidak melebur dengan air laut yang masin di sekelilingnya, seolah-olah ada dinding atau membran yang membatasi keduanya.
Fenomena ganjil itu memeningkan Mr. Costeau dan mendorongnya untuk mencari penyebab terpisahnya air tawar dari air masin di tengah-tengah lautan. Ia mulai berfikir, jangan-jangan itu hanya halusinansi atau khalayan sewaktu menyelam. Waktu pun terus berlalu setelah kejadian tersebut, namun ia tak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan tentang fenomena ganjil tersebut.
Subhanallah,,
Baca selengkapnya......
Sikap Yang Disukai Manusia
[1]. Manusia suka kepada orang yang memberi perhatian kepada orang lain.
Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam,
menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan
sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak
melewati batas-batas syar’I, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada
orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat
perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup
hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya
dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak
didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.
[2]. Manusia suka kepada orang yang mau mendengar ucapan mereka
Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia
mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain
untuk berbicara.
Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya,
walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar
istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa
berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa
senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami
harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk
mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu
istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.
Contoh lain, yaitu ketika ketika teman kita berbicara dan salah dalam
bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi
membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga
selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.
[3]. Manusia suka kepada orang yang menjauhi debat kusir
Allah berfirman, yang artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah,
dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik”.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya,
menerangkan tentang ayat:serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah. Beliau
berkata, “manusia tidak suka suka kepada orang yang berdiskusi dengan
hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar
belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah
daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang
yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus
mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan
dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti
apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya
disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target
kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya
tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika
kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan
yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi
dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara
dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.
[4]. Manusia suka kepada orang yang memberikan penghargaan dan penghormatan
kepada orang lain
Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang
lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda.
Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun
menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak
sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain,
kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri
dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita
tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap
tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.
Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal
seperti itu
jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang
hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain
belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada
orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung
menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika
itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang
memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau
perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam
hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.
Allah berfirman,yang artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka
dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah
dari orang-orang yang bodoh.”(QS Al-A’raaf 199).
[5].Manusia suka kepada orang yang memberi kesempatan kepada orang lain
untuk maju
Sebagai seorang muslim,seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil
atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka,
jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita
kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di
kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus
senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin
belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak
suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu
dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan
sebagainya.
[6]. Manusia suka kepada orang yang tahu berterima kasih atau suka membalas
kebaikan
Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau
balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi
hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas
kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.
[7]. Manusia suka kepada orang yang memperbaiki kesalahan orang lain tanpa
melukai perasaannya
Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak
menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan.
Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah
dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa
dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan
pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan,
bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya
akan tepat sekali.
Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat
disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan
demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan
membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang,
tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.
Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04/ V11/ 1424/ 2003 M.
Tanda Orang Yang Beramal Dengan Tujuan Dunia
Al Bukhari membawakan hadits dalam Bab “Siapa yang menjaga diri dari fitnah harta”. Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah hamba dinar, dirham, qothifah dan khomishoh. Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia tidak ridho, dia akan celaka dan akan kembali binasa.” (HR. Bukhari). Qothifah adalah sejenis pakaian yang memiliki beludru. Sedangkan khomishoh adalah pakaian yang berwarna hitam dan memiliki bintik-bintik merah. (I’aanatul Mustafid, 2/93)
Kenapa dinamakan hamba dinar, dirham dan pakaian yang mewah? Karena mereka yang disebutkan dalam hadits tersebut beramal untuk menggapai harta-harta tadi, bukan untuk mengharap wajah Allah. Demikianlah sehingga mereka disebut hamba dinar, dirham dan seterusnya. Adapun orang yang beramal karena ingin mengharap wajah Allah semata, mereka itulah yang disebut hamba Allah (sejati).
Di antara tanda bahwa mereka beramal untuk menggapai harta-harta tadi atau ingin menggapai dunia disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya: “Jika diberi, dia pun ridho. Namun jika tidak diberi, dia pun tidak ridho (murka), dia akan celaka dan kembali binasa”. Hal ini juga yang dikatakan kepada orang-orang munafik sebagaimana dalam firman Allah:
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat; jika mereka diberi sebahagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebahagian dari padanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (QS. At Taubah: 58)
Itulah tanda seseorang dalam beramal hanya ingin menggapai tujuan dunia. Jika dia diberi kenikmatan dunia, dia ridho. Namun, jika kenikmatan dunia tersebut tidak kunjung datang, dia akan murka dan marah. Dalam hatinya seraya berujar, “Sudah sebulan saya merutinkan shalat malam, namun rizki dan usaha belum juga lancar.” Inilah tanda orang yang selalu berharap dunia dengan amalan sholehnya.
Adapun seorang mukmin, jika diberi nikmat, dia akan bersyukur. Sebaliknya, jika tidak diberi, dia pun akan selalu sabar. Karena orang mukmin, dia akan beramal bukan untuk mencapai tujuan dunia. Sebagian mereka bahkan tidak menginginkan mendapatkan dunia sama sekali. Diceritakan bahwa sebagian sahabat tidak ridho jika mendapatkan dunia sedikit pun. Mereka
pun tidak mencari-cari dunia karena yang selalu mereka harapkan adalah negeri akhirat. Semua ini mereka lakukan untuk senantiasa komitmen dalam amalan mereka, agar selalu timbul rasa harap pada kehidupan akhirat.
Mereka sama sekali tidak menyukai untuk disegerakan balasan terhadap
kebaikan yang mereka lakukan di dunia. Akan tetapi, barangsiapa diberi dunia tanpa ada rasa keinginan sebelumnya dan tanpa ada rasa tamak terhadap dunia, maka dia boleh mengambilnya.
Sebagaimana hal ini terdapat dalam hadits dari ‘Umar bin Khottob, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan suatu pemberian padaku.” Umar lantas mengatakan, “Berikan saja pemberian tersebut pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku. Sampai beberapa kali, beliau tetap memberikan harta tersebut padaku.” Umar pun tetap mengatakan, Berikan saja pada orang yang lebih butuh (lebih miskin) dariku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Ambillah harta tersebut dan harta yang semisal dengan ini di mana engkau tidak merasa mulia dengannya dan sebelumnya engkau pun tidak meminta-mintanya. Ambillah harta tersebut. Selain harta semacam itu (yang di mana engkau punya keinginan sebelumnya padanya), maka biarkanlah dan janganlah hatimu bergantung padanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sekali lagi, begitulah orang beriman. Jika dia diberi nikmat atau pun tidak, amalan sholehnya tidak akan pernah berkurang. Karena orang mukmin sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Adapun orang yang selalu mengharap dunia dengan amalan sholehnya, dia akan bersikap berbeda. Jika dia diberi nikmat, baru dia ridho. Namun, jika dia tidak diberi, dia akan murka dan marah. Dia ridho karena mendapat kenikmatan dunia. Sebaliknya, dia murka karena kenikmatan dunia yang tidak kunjung menghampirinya padahal dia sudah gemar melakukan amalan sholeh. Itulah sebabnya orang-orang seperti ini disebut hamba dunia, hamba dinar, hamba dirham dan hamba pakaian.
Beragamnya Niat dan Amalan Untuk Menggapai Dunia Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:
[Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun
lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.
[Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
[Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid, 132-133)
Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
[Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan. Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
[Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlash, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini. (Lihat At Tamhid Li Syarh Kitabit Tauhid)
Perbedaan dan Kesamaan Beramal untuk Meraih Dunia dengan Riya’ Syaikh Muhammad At Tamimi –rahimahullah- membawakan pembahasan ini dalam Kitab Tauhid pada Bab “Termasuk kesyirikan, seseorang beribadah untuk mencari dunia”. Beliau –rahimahullah- membawakannya setelah membahas riya’. Kenapa demikian? Riya’ dan beribadah untuk mencari dunia, keduanya sama-sama adalah amalan hati dan terlihat begitu samar karena tidak nampak di hadapan orang banyak. Namun, Keduanya termasuk amalan kepada selain Allah Ta’ala. Ini berarti keduanya termasuk kesyirikan yaitu syirik khofi (syirik yang samar). Keduanya memiliki peredaan. Riya’ adalah beramal agar dilihat oleh orang lain dan ingin tenar dengan amalannya. Sedangkan beramal untuk tujuan dunia adalah banyak melakukan amalan seperti shalat, puasa, sedekah dan amalan sholeh lainnya dengan tujuan untuk mendapatkan balasan segera di dunia semacam mendapat rizki yang lancar dan lainnya.
Tetapi perlu diketahui, para ulama mengatakan bahwa amalan seseorang untuk mencari dunia lebih nampak hasilnya daripada riya’. Alasannya, kalau seseorang melakukan amalan dengan riya’, maka jelas dia tidak mendapatkan apa-apa. Namun, untuk amalan yang kedua, dia akan peroleh kemanfaatan di dunia. Akan tetapi, keduanya tetap saja termasuk amalan yang membuat seseorang merugi di hadapan Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama bernilai syirik dalam niat maupun tujuan. Jadi kedua amalan ini memiliki kesamaan dari satu sisi dan memiliki perbedaan dari sisi yang lain.
Kenapa Engkau Tidak Ikhlash Saja dalam Beramal? Sebenarnya jika seseorang memurnikan amalannya hanya untuk mengharap wajah Allah dan ikhlash kepada-Nya niscaya dunia pun akan menghampirinya tanpa mesti dia cari-cari. Namun, jika seseorang mencari-cari dunia dan dunia yang selalu menjadi tujuannya dalam beramal, memang benar dia akan mendapatkan dunia tetapi sekadar yang Allah takdirkan saj
Macam-macam kecerdasan
1. Kecerdasan Verbal merupakan salah satu bagian dari multi kecerdasan yang disebutkan oleh Gardner, orang yang memiliki kecerdasan verbal yang tinggi tidak saja mampu mengolah kata-kata dengan efektif tapi juga mampu menginterprestasikan sesuatu yang tersurat dengan baik.
2. Kecerdasan Intrapersonal, memahami diri sendiri , mengenali kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri sendiri, dia tidak akan mau melakukan sesuatu diluar batas kemapuannya. Kesuksesan juga ditentukan oleh bagaimana kita mengenal diri sendiri;
3. Kecerdasan Interpersonal, merupakan suatu kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain, kesuksesan berawal dari langkah tersebut.
4. Kecerdasan naturalis, kecerdasan ini memberikan kemampuan kita mengenali segala macam benda yang mati dan hidup. Guna mencapai tujuan dan kesuksesan kita. Contohnya yang sederhana , film Mc Giver , seorang yang dapat menggunakan alat sekitar yang sederhana untuk memcari jalan menyelamatkan diri.
5. Kecerdasan Spasial , kemampuan menentukan arah dan posisi merupakan bakat yang diusung oleh orang-orang dengan kecerdasan spasial yang baik. Bila tidak di latih, kita siap-siap nyasar saat membawa kendaraan dan tidak dapat mengambil keputusan berdasarkan logika.
6. Kecerdasan Ekstensial, bahwa kecerdasan ini bahwa ia memberikan kita kemampuan untuk selalu menghargai apa yang ada dan apa yang menimpa kita agar dapat kita olah menjadi sesuatu yang bermanfaat.
7. Kecerdasan logis Matematis, kecerdasan ini paling sering diukur dalam tes IQ, bila kecerdasan ini tinggi, dia akan sanggup menggunakan akal dan logika dalam memecahkan masalah. Walaupun demikian kita tidak boleh memberi kesimpulan seseorang bodoh hanya karena faktor IQ saja.
8. kecerdasan Kinestetik, kecerdasan ini terdiri dari olah tubuh, olah raga, bila kita ingin sehar maka dengan olah raga dan pola hidup yang seimbang maka kita dapat lebih sehat
Latihan Otak Dengan Optimalisasi Fungsi dengan Metode Fritx’s Brain
TIM POWER BRAIN INDONESIA mengeluarkan buku bagaimana kita dapat melatih otak kita mininal 10 menit dalam sehari selama 30 hari dengan metode Frits”Brain,(2005), antara lain dibab ini akan disebutkan beberapa latihan, yang dilakukan tiap hari.
Hari 1
Latihan asosiasi persamaan
Buatlah asosiasi persamaan dari kata-kata : tiang listrik – ban mobil, (karena keduanya memiliki elemen logam), petunjuk: umur 5 -10 tahun : cukup menjawab 8 jawaban , umur 10 – 15 tahun : cukup dengan 10 jawaban, diatas > 15 tahun , cukup dengan 12 jawaban
Hari 2
Latihan Asosiasi perbedaan, contoh kata-kata: laki-laki , perempuan, pentunjuk sama seperti diatas.
Hari 3
Daya Ingat, hafalkan kata-kata dibawah ini , menghafal 5 menit (umur >15 tahun , 3 menit) daftar kata-kata seperti meja, pintu, televisi, pensil. Garpu, lagu , buku, baru, rakus, cuka. Petunjuk, umur 5-10 tahun cukup ingat 6 kata, 10- 15 tahun cukup 10 kata,> 15 tahun mengingat 10 kata dalam waktu 3 menit.
Hari 4
Kecerdasan musikal, dengarkan 2 lagu klasikm tulis kesannya terhadap lagu tersebut dalam kalimat panjang tidak lebih dari 5 kata. Contohnya, keduanya sangat menggugah perasaanku.
Hari 5
Keseimbangan otak kiri dan kanan, buatlah gambar seperti contoh berikut dengan ketentuan : - bagi yang biasa menggunakan tangan kanan untuk kegiatan ini gunakan tangan kiri, begitu juga sebaliknya, apabila selesai menggambar dengan ketentuan diatas gambar lagi dengan ke dua tangan diatas
Hari 6
Koordinasi dan Kecerdasan Kinestetik, untuk melatih koordinasi, lemparkan sehelai kertas yang telah diremas-remas kedalam keranjang sampah dengan jarak 3 meter, tingkatkan atau kurangi jarak untuk menyesuaikan tinggkat kesulitan, Petunjuk, umur 5-10 tahun , jarak kuran gdari 2 meter, umur 10 – 15 tahun , jarak kurang dari 3 meter, umur diatas 15 tahn , jarak keranjang 4 meter.
Hari 7
Kecerdasan Inter dan Intra personal, tuliskan /sebutkan 5 orang nama teman-teman and a beserta sifat-sifat baik mereka.
Hari 8
Asosiasi persamaan, buatkan asosiasi persamaan antara kata-kata : globe (bola dunia) , kue donat. petunjuk: umur 5 -10 tahun : cukup menjawab 8 jawaban , umur 10 – 15 tahun : cukup dengan 10 jawaban, diatas > 15 tahun , cukup dengan 12 jawaban
Hari 9
Asosiasi perbedaan, buatlah asosiasi ini dengan kata-kata, garpu, sendok, Pentunjuk sama seperti diatas.
Hari 10
Daya ingat, sama seperti petunjuk diatas, hari ke-3, tapi menggunakan gambar.
Hari 11
Kecerdasan musikal dan kecerdasan logis matematika, dengan mendengar lagu klasik (khususnya mozart), saat mendengar lagu, lakukan pengurangan didalam pikiran anda contoh 100-7=93, 93-7=86, sampai tidak dapat dikurangi lagi, kemudian tulis kesan anda dengan 5 kata.
Latihan ini akan berulang dilakukan sampai 30 hari
Meningkatkan mutu proses kerja otak dalam harmoni keseimbangan
Diperlukan proses kerja otak yang optimal, agar tujuan-tujuan dapat tercapai sesuai atau mendekati sasaran yang diniatkan. Harapan seorang ibu yang mengandung agar anaknya kelak mampu berpikir cerdas, senang bekerja serta menjadi orang yang beriman, Insya Allah dapat terealisir bila sejak awal sudah diperkenalkan dengan sentuhan-sentuhan yang merangsang pertumbuhan yang sehat atas belahan otak kiri dan otak kanannya. Kebiasaan membaca ayat-ayat suci Al Qur’an dengan baik dan benar serta disuarakan dengan lembut dan indah, sejk bayi berada dalam kandungan akan memberikan pelajaran pertama dalam menggetarkan kombinasi dan persilangan kedua belahan otak dengan harmoni keseimbangan.
Spesialisasi mengakomodasi hal-hal yang logis rasional dari otak kiri akan terpadu dengan unsur-unsur keindahan, seni, dan visualisasi yang menjadi ciri khusus belahan otak kanan.
Saat bayi dilahirkan otaknya akan mendapat rangsangan pertama dari pengaruh luar, dimana akan terekam getaran-getaran lembut pada auditory. Kesempatan inilah yang agaknya banyak dimanfaatkan orang tua atau ayah dari anak yang baru lahir dengan kumandang alunan adzan ditelinga kanan dan kiri sebagai tulisan atau sibqah pertama yang paling dekat dengan ikrar fitrah sebelum roh ditiupkan.
Pada tahun-tahun pertama kehidupan anak, motor sensoriknya mulai berfungsi melalui kontak langsung dengan lingkungannya dan interaksi dengan ibunya serta benda-benda di sekelilingnya. Pada usia empat tahun terjadi perkembangan kecerdasan yang cukup signifikan, yang didahului sebelumnya dengan berfungsinya motor sensorik yang berkembang melalui kontak lansung dengan lingkungan. Selanjutnya terjadi peningkatan sistem emosional-kognitif melalui bermain, meniru dan pembacaan ceritera. Bila perkembangannya terbina dengan baik dan anak secara emosional cukup sehat maka tercapai tingkat kecerdasan yang lebih tinggi.
Menurut pendapat para ahli melalui suatu penelitian yang lama dan intensif, pada umur berapapun adalah mungkin untuk meningkatkan kemampun mental melalui rangsangan lingkungan. Semakin kuat rangsangan otak melalui aktivitas intelektual dan interaksi lingkungan , semakin banyak jalinan yng dibuat antara sel-sel, sehingga potensi berpikir dan berinovasi semakin meningkat. Melalui pengulangan, sel-sel saraf menjadi terhubung dan memperoleh pasokan zat myelin yang berfungsi memudahkan dalam mengingat informasi. Bila pengulangan berkala dihentikan maka myelin akan hilang secara bengangsur-angsur, hingga orang akan mengalami kesulitan mengingat kembali informasi yang pernah diperolehnya.
Untuk memperbaiki mutu berpikir, terlebih dulu diperlukan evaluasi pribadi proses kerja otak, yang dapat diteksi antara lain melalui Self Assessment Test. Melalui pemilihan preferensi jawaban dapat diketahui potensi kemampuan belahan otak kiri dan kanan serta auditory dan visualnya. Hasil jawaban pertanyaan tidak menunjukkan benar atau salah, tapi suatu hasil evaluasi yang berguna untuk menentukan cara perbaikan yang diperlukan.
keseimbangan relatip antara belahan otak kiri dan kanan, serta preferensi visual yang kuat. Ini menunjukkan intensitas preferensi sensor yang akan menentukan learning style yang diperlukan.
Keseimbangan hemisphere kanan dan kiri diperlukan bagi pembelajaran visual. Akan terjadi absorsi lingkungan, memilih detail dan secara simultan menanamkannya dalam suatu konteks, suatu perspektif menyeluruh yang menambah nuansa pemahaman.
Keluaran diatas menunjukkan seseorang yang aktif (active and searching) yang menghasilkan energi kuat dan mampu memfokuskan diri pada lebih dari satu aspek serta mendorongnya pada penyelesaian masalah.
Kemampuan lain yang ditampilkan hasil diatas adalah kemampuan bekerja melalui problema-problema dalam sekuensi logika, dengan dilengkapi opsi lain yang sudah tersedia.
Banyak orang yang menginginkan kondisi hemisphere seperti ini, berupa kemampuan mengkombinasikan beberapa karakteristik. Kesan lain yang ditampilkan adalah munculnya sifat artistik, active learner, logika dan disiplin.
Sesuatu yang jarang terjadi, bilamana kondisi left – right dan visual- auditory keduanya dalam keseimbangan sempurna, yang justru memunculkan konflik bagi yang bersangkutan antara apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan disamping permasalahan bagaimana menyelesaikan permasalahan dan menyikapi berbagai informsi.
About Me
Labels
- Kehidupan (15)
- Kesehatan (6)
- Kesuksesan (10)
- Senyum (4)
- Seputar blackberry (3)
- Seputar Otak (4)
Entri Populer
-
Chatting di BBM memang menyenangkan, tambah menyenangkan lagi bila kita bisa menambahkan berbagai emoticon atau simbol-simbol lucu saat chat...
-
Pernyataan John. F. Kennedy ini saya yakini kebenarannya. Itu bukan sekedar retorika, tetapi memang sudah terbukti dalam perjalanan hidup sa...
-
Kamu akan membeli sebuah Blackberry? lalu bingung karena tidak mengetahui bagaimana sih Blackberry yang asli itu? Jangan-jangan nanti yang k...